Kebudayaan Lampung
Lampung
adalah sebuah provinsi
paling selatan di Pulau Sumatera, Indonesia. Di sebelah utara berbatasan dengan Bengkulu dan Sumatera
Selatan.
Provinsi
Lampung dengan ibukota Bandar Lampung, yang merupakan gabungan dari kota
kembar Tanjungkarang dan Telukbetung memiliki wilayah yang
relatif luas, dan menyimpan potensi kelautan. Pelabuhan utamanya bernama
Pelabuhan Panjang dan Pelabuhan Bakauheni serta pelabuhan nelayan
seperti Pasar Ikan (Telukbetung), Tarahan, dan Kalianda di Teluk Lampung.
Sedangkan di
Teluk Semangka adalah Kota Agung (Kabupaten Tanggamus), dan di Laut Jawa terdapat
pula pelabuhan nelayan seperti Labuhan Maringgai dan Ketapang. Di samping itu,
Kota Menggala juga dapat dikunjungi kapal-kapal nelayan dengan menyusuri sungai
Way Tulang Bawang, adapun di Samudra Indonesia terdapat Pelabuhan Krui.
Lapangan
terbang utamanya adalah "Radin Inten II", yaitu nama baru
dari "Branti", 28 Km dari Ibukota melalui jalan negara menuju
Kotabumi, dan Lapangan terbang AURI terdapat di Menggala yang bernama Astra
Ksetra. Secara Geografis Provinsi Lampung terletak pada kedudukan : Timur
- Barat berada antara : 103o 40' - 105o 50' Bujur Timur Utara - Selatan
berada antara : 6o 45' - 3o 45' Lintang Selatan.
Seni dan Budaya
Sastra
Lampung menjadi
lahan yang subur bagi pertumbuhan sastra, baik sastra (berbahasa) Indonesia
maupun sastra (berbahasa) Lampung. Kehidupan sastra (Indonesia) di Lampung
dapat dikatakan sangat ingar-bingar meskipun usia dunia kesusastraan Lampung
relatif masih muda. Penyair Iwan Nurdaya-Djafar
yang baru kembali ke Lampung setelah selesai kuliah di Bandung sekitar
1980-an mengaku kepenyairan di Lampung masih sepi. Dia baru menjumpai Isbedy
Stiawan ZS, A.M. Zulqornain, Sugandhi Putra, Djuhardi Basri, Naim Emel Prahana dan
beberapa nama lainnya.
Barulah
memasuki 1990-an kemudian Lampung mulai semarak dengan penyair-penyair seperti Iswadi
Pratama, Budi P. Hatees, Panji Utama,
Udo Z.
Karzi, Ahmad Yulden Erwin, Christian Heru Cahyo
dan lain-lain. Menyusul kemudian Ari Pahala Hutabarat,
Budi Elpiji, Rifian A. Chepy, Dahta Gautama dkk. Kini ada Dina
Oktaviani, Alex R. Nainggolan, Jimmy Maruli Alfian, Y. Wibowo, Inggit Putria Marga, Nersalya Renata dan Lupita Lukman. Selain itu
ada cerpenis Dyah Merta dan M. Arman AZ..
Leksikon Seniman
Lampung (2005) menyebutkan tidak kurang dari 36 penyair/sastrawan
Lampung yang meramaikan lembar-lembar sastra koran, jurnal dan majalah seantero
negeri.
Teater
Perkembangan
teater di Lampung banyak dilatarbelakangi dari keinginan para pelajar dan
mahasiswa yang tergabung dalam kelompok seni untuk mendalami seni peran dan
pertunjukkan. Beberapa kelompok teater kampus dan pelajar yang masih tercatat
aktif sampai saat ini adalah teater Kurusetra (UKMBS Unila), KSS (FKIP Unila),
Green Teater (Umitra), Teater Biru (Darmajaya), Teater Kapuk (STAIN Metro),
Teater Sudirman 41 (SMAN 1 Bandar Lampung), Teater Gemma (SMAN 2 Bandar
Lampung), Teater Palapa (SMAN 3 Bandar Lampung), Teater Sanggar Madani(SMAN 5
Bandar Lampung), Teater Handayani (SMAN 7 Bandar Lampung), Kolastra (SMAN 9
Bandar Lampung), Teater Sebelas (SMAN 11 Bandar Lampung), Teater Pelopor (SMA
Perintis 1 Bandar Lampung), Insyaallah Teater (SMU Perintis 2 Bandar Lampung),
Teater Cupido (SMAN 1 Sumberjaya).
Sedangkan
beberapa teater yang digerakkan seniman-seniman Lampung yaitu Teater Satu,
Komunitas Berkat Yakin (Kober), Teater Kuman, Teater Sendiri. Penggerak teater
di Lampung yang masih eksis mengembangkan seni pertunjukkan teater melalui
karya-karyanya antara lain Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat, Robi akbar, M.
Yunus, Edi Samudra Kertagama, Ahmad Jusmar, Imas Sobariah, Ahmad Zilalin,
Darmawan. Lampung tidak hanya dikenal banyak melahirkan sastrawan-sastrawan
baru namun aktor-aktor potensial pun juga tidak sedikit yang muncul seperti,
Rendie Dadang Yusliadi, Robi Akbar, Eyie, Iin Mutmainah, M Yunus, Dedi Nio,
Liza Mutiara Afriani, Iskandar GB, Ruth Marini.
Dalam tiap
tahunnya even-even teater seperti pertunjukan, lomba, workshop dan diskusi
kerap digelar di Provinsi ini serta tempat tempat yang sering digunakan adalah
Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Auditorium RRI, GSG UNILA,
Academic Centre STAIN Metro, Gedung PKM Unila, Aula FKIP Unila, Pasar Seni
Enggal.
Adapun even tahunan
teater yang terbesar di Lampung adalah Liga Teater SLTA se-Provinsi Lampung
sebagai ajang apresiasi para aktor Pelajar Lampung yang kualitasnya tidak kalah
dengan pelajar di luar Lampung.
Musik
Sebagaimana
sebuah daerah, Lampung memiliki beraneka ragam jenis musik,
mulai dari jenis tradisional hingga modern (musik modern yang mengadopsi kebudayaan musik
global). Adapun jenis musik yang masih bertahan hingga sekarang adalah Klasik
Lampung. Jenis musik ini biasanya diiringi oleh alat musik gambus dan gitar
akustik. Mungkin jenis musik ini merupakan perpaduan budaya Islam dan budaya
asli itu sendiri. Beberapa kegiatan festival diadakan dengan tujuan untuk
mengembangkan budaya musik tradisional tanpa harus khawatir akan kehilangan
jati diri. Festival Krakatau, contohnya adalah sebuah Festival yang diadakan
oleh Pemda Lampung yang bertujuan untuk mengenalkan Lampung kepada dunia luar
dan sekaligus menjadi ajang promosi pariwisata.
Tarian
Ada berbagai
jenis tarian yang merupakan aset budaya Provinsi Lampung. Salah satu jenis
tarian yang terkenal adalah Tari Sembah dan Tari Melinting (saat ini
nama Tari Sembah sudah dibakukan menjadi Sigeh Pengunten). Ritual
tari sembah biasanya diadakan oleh masyarakat lampung untuk menyambut dan
memberikan penghormatan kepada para tamu atau undangan yang datang, mungkin
bolehlah dikatakan sebagai sebuah tarian penyambutan. Selain sebagai ritual
penyambutan, tari sembah pun kerap kali dilaksanakan dalam upacara adat
pernikahan masyarakan Lampung.
Busana Adat
Daerah Lampung
dikenal sebagai penghasil kain tapis, kain tenun bersulam benang emas yang
indah. Kain ini dibuat oleh wanita. Pada penyelenggaraan upacara adat, seperti
perkawinan, tapis yang dipenuhi sulaman benang emas dengan motif yang indah
merupakan kelengkapan busana adat daerah Lampung.
Dalam
keseharian laki-laki Lampung mengikat kepalanya dengan kikat. Bahannya dari
kain batik. Bila dipakai dalam kerapatan adat dipadukan dengan baju teluk
belanga dan kain. Lelaki muda Lampung lebih menyukai memakai kepiah/ketupung,
yaitu tutup kepala berbentuk segi empat berwarna hitam terbuat dari kain tebal,
apalagi kalau ingin bertemu dengan gadis. Untuk mengiring pengantin dikenakan
kekat akkin, yaitu destar dengan bagian tepi dihias bunga-bunga dari benang
emas dan bagian tengah berhiaskan siger, serta di salah satu sudutnya terdapat
sulaman benang emas berupa bunga tanjung dan bunga cengkeh.
Sebagai penutup
badan dikenakan kawai, yaitu baju berbentuk teluk belanga belah buluh atau jas.
Baju ini terbuat dari bahan kain tetoron atau belacu dan lebih disukai yang
berwarna terang. Tetapi sekarang banyak digunakan kawai kemija, yaitu bentuk
kemeja seperti pakaian sekolah atau moderen. Pemakaian kawai kemija ini sudah
biasa untuk menyertai kain dan peci, ketika menghadiri upacara adat sekalipun.
Bagian bawah
mengenakan senjang, yaitu kain yang dibuat dari kain Samarinda. Bugis atau
batik Jawa. Tetapi sekarang telah dikenal adanya celanou (celana) pendek dan
panjang sebagai penganti kain.
Kaum wanita
Lampung sehari-hari memakai kanduk/kakambut atau kudung sebagai penutup kepala
yang dililitkan. Bahannya dari kain halus tipis atau sutera. Selain itu, kaum
ibu kadangkadang menggunakannya sebagai kain pengendong anak kecil.
Lawai kurung
digunakan sebagai penutup badan, memiliki bentuk seperti baju kurung. Baju ini
terbuat dari bahan tipis atau sutra dan pada tepi muka serta lengan biasa
dihiasi rajutan renda halus. Sebagai kain dikenakan senjang atau cawol. Untuk
mempererat ikatan kain (senjang) dan celana di pinggang laki-laki digunakan
bebet (ikat pinggang), sedangkan wanitanya menggunakan setagen. Perlengkapan
lain yang dikenakan oleh laki-laki Lampung adalah selikap, yaitu kain selendang
yang dipakai untuk penahan panas atau dingin yang dililitkan di leher. Pada
waktu mandi di sungai, kain ini dipakai sebagai kain basahan. Selikap yang
terbuat dari kain yang mahal dipakai saat menghadiri upacara adat dan untuk
melakukan ibadah ke masjid.
Untuk
menghadiri upacara adat, seperti perkawinan kaum wanita, baik yang gadis maupun
yang sudah kawin, menyanggul rambutnya (belatung buwok). Cara menyanggul
seperti ini memerlukan rambut tambahan untuk melilit rambut ash dengan bantuan
rajutan benang hitam halus. Kemudian rajutan tadi ditusuk dengan bunga kawat
yang dapat bergerak-gerak (kembang goyang).
Khusus bagi
wanita yang baru menikah, pada saat menghadiri upacara perkawinan mengenakan
kawai/kebayou (kebaya) beludru warna hitam dengan hiasan rekatan atau sulaman
benang emas pada ujung-ujung kebaya dan bagian punggungnya. Dikenakan senjang/
cawol yang penuhi hiasan terbuat dari bahan tenun bertatah sulam benang emas,
yang dikenal sebagai kain tapis atau kain Lampung. Sulaman benang emas ada yang
dibuat berselang-seling, tetapi ada yang disulam hampir di seluruh kain.
Para ibu muda
dan pengantin baru dalam menghadiri upacara adat mengenakan kain tapis bermotif
dasar bergaris dari bahan katun bersulam benang emas dan kepingan kaca. Di
bahunya tersampir tuguk jung sarat, yaitu selendang sutra bersulam benang emas
dengan motif tumpal dan bunga tanjung. Selain itu, juga dapat dikenakan selekap
balak, yaitu selendang sutra disulam dengan emas dengan motif pucuk rebung, di
tengahnya bermotifkan siger yang di kelilingi bunga tanjung, bunga cengkeh dan
hiasan berupa ayam jantan.
Untuk
memperindah dirinya dipergunakan berbagai asesoris terbuat dari emas.
Selambok/rattai galah, yaitu kalung leher (monte) berangkai kecil-kecil
dilengkapi dengan leontin dari batu permata yang ikat dengan emas. Kelai
pungew, yaitu gelang yang dipakai di lengan kanan atau kiri, biasanya memiliki
bentuk seperti badan ular (kalai ulai). Pada jari tengah atau manis diberi
cincin (alali) dari emas, perak atau suasa diberi mata dari permata. Dikenakan
pula kalai kukut, yaitu gelang kaki yang biasanya berbentuk badan ular
melingkar serta dapat dirangkaikan. Kalai kukut ini dipakai sebagai
perlengkapan pakaian masyarakat yang hidup di desa, kecuali saat pergi ke
ladang.
Pakaian mewah
dipenuhi dengan warna kuning keemasan dapat dijumpai pada busana yang dikenakan
pengantin daerah Lampung. Mulai dari kepala sampai ke kaki terlihat warna
kuning emas.
Di kepala
mempelai wanita bertengger siger, yaitu mahkota berbentuk seperti tanduk dari
lempengan kuningan yang ditatah hias bertitik-titik rangkaian bunga. Siger ini
berlekuk ruji tajam berjumlah sembilan lekukan di depan dan di belakang (siger
tarub), yang setiap lekukannya diberi hiasan bunga cemara dari kuningan
(beringin tumbuh). Puncak siger diberi hiasan serenja bulan, yaitu kembang hias
berupa mahkota berjumlah satu sampai tiga buah. Mahkota kecil ini mempunyai
lengkungan di bagian bawah dan beruji tajam-tajam pada bagian atas serta
berhiaskan bunga. Pada umumnya terbuat dari bahan kuningan yang ditatah.
Badan mempelai
dibungkus dengan sesapur, yaitu baju kurung bewarna putih atau baju yang tidak
berangkai pada sisinya dan di tepi bagian bawah berhias uang perak yang
digantungkan berangkai (rambai ringgit). Sebagai kainnya dikenakan kain tapis
dewo sanow (kain tapis dewasana) dipakai oleh wanita pada waktu upacara besar
(begawi) dari bahan katun bersulam emas dengan motif tumpal atau pucuk rebung.
Kain ini dibuat beralaskan benang emas, hingga tidak nampak kain dasarnya. Bila
kain dasarnya masih nampak disebut jung sarat. Jenis tapis dewasana merupakan
hasil tenunan sendiri, yang sekarang sangat jarang dibuat lagi.
Pinggang
mempelai wanita dilingkari bulu serti, yaitu ikat pinggang yang terbuat dari
kain beludru berlapis kain merah. Bagian atas ikat pinggang ini dijaitkan
kuningan yang digunting berbentuk bulat dan bertahtakan hiasan berupa bulatan
kecil-kecil. Di bawah bulu serti dikenakan pending, yaitu ikat pinggang dari
uang ringgitan Belanda dengan gambar ratu Wihelmina di bagian atas.
Pada bagian
dada tergantung mulan temanggal, yaitu hiasan dari kuningan berbentuk seperti
tanduk tanpa motif, hanya bertatah dasar. Kemudian dinar, yaitu uang Arab dari
emas diberi peniti digantungkan pada sesapur, tepatnya di bagian atas perut.
Dikenakan pula buah jukum, yaitu hiasan berbentuk buah-buah kecil di atas kain
yang dirangkai menjadi untaian bunga dengan benang dijadikan kalung panjang.
Biasanya kalung ini dipakai melingkar mulai dari bahu ke bagian perut sampai ke
belakang.
Gelang burung,
yaitu hiasan dari kuningan berbentuk burung bersayap yang diikatkan pada lengan
kiri dan kanan, tepatnya di bawah bahu. Di atasnya direkatkan bebe, yaitu
sulaman kain halus yang berlubang-lubang. Sementara gelang kana, terbuat dari
kuningan berukir dan gelang Arab, yang memiliki bentuk sedikit berbeda,
dikenakan bersama-sama di lengan atas dan bawah.
Mempelai
laki-laki mengenakan kopiyah mas sebagai mahkota. Bentuknya bulat ke atas
dengan ujung beruji tajam. Bahannya dari kuningan bertahtakan hiasan karangan
bunga. Badannya ditutup dengan sesapur warna putih berlengan panjang. Dipakai
celanou (celana) panjang dengan warna sama dengan warna baju.
Pada pinggang
dibalutkan tapis bersulam benang emas penuh diikat dengan pending. Bagian dada
dilibatkan membentuk silang limar, yaitu selendang dari sutra disulam benang
emas penuh. Lengan dihias dengan gelang burung dan gelang kana. Perlengkapan
lain yang menghiasi badan sama seperti yang dikenakan oleh mempelai wanita.
Kaki kedua mempelai dibungkus dengan selop beludru warna hitam.
Rumah Adat
Rumah tradisional
adat Lampung, atau yang sering disebut Nuwo Sesat, memiliki ciri khas seperti:
berbentuk panggung, atap terbuat dari anyaman ilalang, terbuat dari kayu
dikarenakan untuk menghindari serangan hewan dan lebih kokoh bila terjadi gempa
bumi, karena masyarakat lampung telah mengenal gempa dari zaman dahulu dan
lampung terletak di pertemuan lempeng Asia dan Australia.
Masrukhi/1ID07/35413341/TUGAS
ILMU BUDAYA DASAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar