Minggu, 01 Desember 2013

KEBUDAYAAN DI ACEH



KEBUDAYAAN ACEH

Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama). Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai syariah Islam. Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.
Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia. Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.

Aceh adalah daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi Samudra Hindia 2004. Setelah gempa, gelombang tsunami menerjang sebagian besar pesisir barat provinsi ini. Sekitar 170.000 orang tewas atau hilang akibat bencana tersebut. Bencana ini juga mendorong terciptanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).



 

Seni dan Budaya Aceh
Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:
Sastra
  • Bustanussalatin
  • Hikayat Prang Sabi
  • Hikayat Malem Diwa
  • Legenda Amat Rhah manyang
  • Legenda Putroe Neng
  • Legenda Magasang dan Magaseueng
Senjata Tradisional
Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger ataubelati (bukan pisau ataupun pedang).
Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti siwah, geuliwang dan peudeueng.

Rumah Tradisional

 

Rumah tradisional Aceh di Museum Aceh
Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).


Tarian

Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku bangsa, memiliki kekayaan tari-tarian yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman.



Tarian Suku Aceh           Tarian Suku Gayo                Tarian Suku Lainnya
Tari Laweut                       Tari Saman                              Tari Ula-Ula Lembing
Tari Likok Pulo                  Tari Bines                                Tari Msekat
Tari Pho                            Tari Didong                            
Tari Ranup Lampuan         Tari Duel                                
Tari Rapai Geleng             Tari Munalu                            
Tari Rateb Meuseukat      Tari Turun Ku Aih Aunen      
Tari Ratoh Duek                    
Tari Seudati                            
            Tari Tarek Pukat

 
Kepercayaan dan Seni Budaya Orang Aceh
 
Sebelum masuknya agama Islam ke Aceh, maka kebudayaan daerah ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Budha berabad-abad lama-nya, terutama di daerah-daerah pantai yang terletak di tepi lalu-lintas internasional, sedangkan di peda-laman pengaruh animisme dan dinamisme masih sangat kental. Sisa-sisa dari kepercayaan lama itu masih dapat kita lihat dalam kehidupan rakyat Aceh sampai sekarang, walaupun mereka telah berabad-abad memeluk agama Islam.
Pada masa kerajaan Poli dan Sriwijaya, agama Budha berkembang pesat di Aceh di samping agama Hindu. Peninggalan kedua agama tersebut yang berupa bangunan agama seperti candi dan lain-lain sebagaimana yang dapat kita lihat di Jawa agak sukar kita temukan. Hal ini mungkin disebabkan karena pernah terjadi revolusi kepercayaan akibat berkembangnya agama Islam, sehingga bangunan-bangunan yang berbau kepercayaan lama dihancurkan. Kejadian yang seperti ini pernah terjadi dikemudian hari, yakni pada zaman kerajaan Aceh Darussalam, di mana buku-buku yang berisi ajaranHamzah Fansuri dan pengikut-pengikutnya dimus-nahkan oleh lawannya yang berhasil mempengaruhi penguasa bahwa ajaran Hamzah Fansuri tersebut adalah ajaran sesat. Kitab-kitab Hamzah Fansuridan pengikutnya yang sekarang masih tersisa kebanyakan dapat dijumpai di luar Aceh, yaitu Malaysia dan Banten.
Beberapa peninggalan purbakala seperti benteng Indrapatra dan Indrapuri dan lain-lainnya memiliki indikasi sebagai peninggalan zaman Hindu dan Budha. Namun demikian, hal ini masih perlu penelitian kepurbakalaan secara lebih lanjut. Penemuan guci-guci berisi abu jenazah di Lamno Daya(Aceh Barat) serta cerita rakyat mengenai Pahlawan Syah vang terus hidup di negeri itu sebagai seorang penguasa Hindu yang gigih menentang orang-orang Islam sedikit banyaknya akan memberi keterangan baru kepada kita tentang pengaruh Hindu dan Budha di Aceh.
Kedatangan Islam di berbagai daerah di Indonesia tidaklah secara bersamaan. Demikian pula di kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya memiliki situasi politik dan sosial budaya yang berlainan. Berdasarkan berita Cina pada zaman lasti Tang di abad VII dan VIII, diduga masyarakat lain telah ada baik di Kanfu (Kanton) maupun di perah Samudera sendiri. Van Leur mengatakan Lrv.a koloni-koloni pedagang Arab telah didirikan di Kanton sebelum abad IV. Pemukiman-pemukiman pedagang Arab itu sudah disebut-sebut lagi dalam berita Cina tahun 618 dan 626. Dalam tahun-tahun selanjutnya koloni-koloni pedagang Arab sudah memperkenalkan praktik-praktik ajaran Islam. Sudah barang tentu koloni-koloni orang-orang Islam yang ditemukan juga di sepanjang jalur perdagangan Asia Tenggara terutama negeri-negeri di sekitar Selat Malaka. Ada dugaan bahwa pada tahun 674 telah ada koloni orang-orang Islam di pantai barat Sumatera. Sekitar abad XI dan XII kondisi kerajaan Sriwijaya sebagai penguasa di daerah-daerah sekitar Selat Malaka semakin lemah dan peranannya sebagai negara Budha pun mulai surut pula. Kondisi politik dan sosial yang demikian sangat mempengaruhi peningkatan penyebaran agama Islam di daerah-daerah tersebut. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya kerajaan-kerajaan yangbercorak Islam di pantai utara Aceh. Sultan Johan Syah yang memerintah salah satu kerajaan di Aceh pada tahun 1205 - seperti yang sudah dijelaskan pada bagian yang lalu - adalah seorang raja yang beragama Islam. Kegiatan penyebaran agama Islam di sekitar lembah sungai Aceh agaknya sejak abad XII sudah sudah dilakukan, hal ini dibuktikan dengan adanya berita tentang seorang mubaligh Arab yang bernama Syekh Abdullah Arief yang meninggal pada tahun 506 H. (1112).

Sejarah Perkembangan Islam di daerah Aceh

Keterangan Marco Polo yang singgah di Perlak pada tahun 1292 menyatakan bahwa negeri itu sudah menganut agama Islam. Begitu juga Samudera-Pasai, berdasarkan makam yang diketemukan di bekas kerajaan tersebut dan berita sumber-sumber yang ada seperti yang sudah kita uraikan bahwa kerajaan ini sudah menjadi kerajaan Islam sekitar 1270.
Tentang sejarah perkembangan Islam di daerah Aceh pada zaman-zaman permulaan itu petunjuk yang ada selain yang telah kita sebutkan pada bagian-bagian yang lalu ada pada naskah-naskah yang berasal dari dalam negeri sendiri seperti Kitab Sejarah Melayu, Hikayat Raja-Raja Pasai. Menurut kedua kitab tersebut, seorang mubaligh yang bernama Syekh Ismail telah datang dari Mekkah sengaja menuju samudera untuk mengislamkan penduduk di sana. Sesudah menyebarkan agama Islam seperlunya, Svekh Ismail pun pulang kembali ke Mekkah. Perlu uga disebutkan di sini bahwa dalam kedua kitab ini disebutkan pula negeri-negeri lain di Aceh yang turut diislamkan, antara lain: Perlak, Lamuri, Barus dan lain-lain.
Berdasarkan keterangan kedua sumber itu dapatlah diperkirakan bahwa sebagian tempat-tempat di Aceh, terutama tempat-tempat di tepi pantai telah memeluk agama Islam. Berita-berita Cina ada juga yang menyebutkan bahwa raja dan seluruh rakyat negeri Aru yang di kemudian hari termasuk bagian dari Aceh adalah penganut-penganut agama Islam. I emikian pula Malaka yang pada awal abad XV terus menjadi ramai, akhirnya menjadi kerajaan Islam pula, bahkan setelah itu menjadi pusat syi'ar Islam ke seluruh Asia Tenggara dan melalui Malaka pula agama Islam kemudian masuk dan berkembang ke seluruh Indonesia sehingga pada awal abad ke-15 hampir di setiap tempat di kepulauan Indonesia sudah terbentuk masyarakat-masyarakat Islam. Islam yang masuk ke Aceh khususnya dan Indonesia umumnya pada mulanya mengikuti jalan-jalan dan kota-kota dagang di pantai, kemudian barulah menyebar ke pedalaman. Para pedagang dan mubaligh telah memegang peranan penting dalam penyebaran agama Islam.
 

Sumber: http://2012.acehinvestment.com/Seni-dan-Budaya-Aceh.html

 
Masrukhi/1ID07/35413341/TUGAS ILMU BUDAYA DASAR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar