LATAR
BELAKANG SEJARAH PERGERAKAN MAHASISWA
Pembuktian sejarah
gerakan mahasiswa Indonesia, sesuai dengan konteks jamannya, haruslahmemberikan
kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam orientasi dan tindakan politiknya, benar-benar
mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struktural
rakyatIndonesia. Orientasi dan tindakan politik cermin daripada bagaimana
mahasiswa Indonesiamemahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya
serta kecakapan merealisasinilai-nilai tujuan ideologinya. Karena pranata
mahasiswa merupakan gejala pada masyarakat yang telah memiliki
kesadaran berorganisasi, dan mahasiswa merupakan golongan yang di berikan
kesempatan sosial untuk menikmati kesadaran tersebut, maka asumsi bahwa
gerakan mahasiswa memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kegunaan
organisasi dalam gerakkannya adalah absah. Dengan demikian kronologi sejarah
gerakan mahasiswa harus memperhitungkan batasan bagaimana mahasiswa
memberikan nilai lebih terhadap organisasi. namun demikian tidak adamaksud
untuk menghargai gerakan rakyat spontan.
Mahasiswa
dapat dikatakan sebuah komunitas unik yang berada di masyarakat, dengan
kesempatandan kelebihan yang dimilikinya, mahasiswa mampu berada
sedikit di atas masyarakat. Mahasiswa jugabelum tercekcoki oleh kepentingan-kepentingan suatu
golongan, ormas, parpol, dsb. Sehingga mahasiswa dapat dikatakan (seharusnya) memiliki idealisme.
Idealisme adalah suatu kebenaran yang diyakini
murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal
yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut.
Berdasarkan
berbagai potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa, tidak sepantasnyalah bila mahasiswa
hanya mementingkan kebutuhan dirinya sendiri tanpa memberikan kontribusi terhadapbangsa dan
negaranya. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan
pularakyat, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat
tersendiri di lingkungan masyarakat, namunbukan berarti memisahkan diri dari masyarakat.
SEJARAH GEOPOLITIK-EKONOMI NASIONAL, INTERNASIONAL
Pelacakan Gerakan Mahasiswa Level Makro
Kecenderungan menguatnya neo-Iiberalisme
terjadi dimana-mana, terutama di negar berkembang atau negara dunia ketiga.
Kecenderungan itu ditunjukkan oleh peran membesar yang dipermainkan oleh
berbagai intitusi perekonomian dunia, seperti; [nternationa! Monetarian ftmd
(IMF), International Bank for Recontruction of Development (IBRD), World Trade
Organization (WTO). Institusi yang didukung penuh oleh negara-negara maju
begitu ganas mempromosikan struktur perekonomian dunia yang leizes-fair
(membiarkan sesuai mekanisme pasar) dan meminimalisir campur tangan negara yang
dihegemoni. Neo-liberalisme temyata menjadi gurita panas yang mengecam kekuatan
ekonomi di negara berkembang. Pandangan bebasa ini menjadi paradoks dengan
sedemikian rupa mengatur mekanisme perekonomian dunia. Dengan melihat struktur
perekomian negara-negara pheriphery bisa disimpu1kan bahwa kecenderungan
neo-liberalisme ini sangat mempengaruhi perekonomian di tingkat akar rumput.
Mainstream kapitalisme global dengan wajah baru telah merasuk dalam kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemegang kebijakan di masing-masing negara berkembang.
Menghadapi konsekuensi buruk kapitalisme global dan neoIiberalisme itu menjadi
tesis runtuhnya negara berkembang. Perkembangan global kontemporer dipicu oleh
perkembangan teknologi produksi, informasi, telekomunikasi, dan globalisasi.
Kekuatan negara menjadi sernakin rapuh untuk mengontrol fluktuasi ekonomi
politik. Keterpurukan negara berkembang setelah tidak bisa mengembalikan
tatanan ekonomi ditambah lagi dengan pengabaian Human Right (HAM), komflik
etnis, pelecehan seksual, eksploitasi buruh, konflik atas nama agama,
inkonsistensi para birokrat, dan sekian rnasalah yang menjadi entitas problem.
Dalam hal perekonomian ciri-ciri struktur
keterbelakangan negara indonesia diindikasikan dalam bemagai faktor kehidupan.
Salah satu yang menjadi momok besar atau kesulitan menjadi negara maju adalah
bahwa Indonesia tidak sanggup untuk bergabung dengan kapitalisme global,
teritama sejak ORBA berkuasa tahun 60-an. Indonesia temyata msuk dalam
kungkungan anak kandung kapitalisme yaitu developmentalisme (pembangunanisme).
Ideologi developmentalisme temyata memaksa Indonesia untuk larut dalam gaya
pembangunan kapitalis yang direpresentasikan melauli kebijakan negara yaitu
REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun), kebijakan ini berdampak pada jaminan
kesestabilan politik untuk menarik investor asing. Kestabilan politik ORBA ini
dicapai dengan melakukan tindakan yang sangat dominatif dan bersifat
Otoritarian-Birokratik terhadap kedaulatan rakyat. Indikasi dari gaya
pemerintahan Otoritarian-Birokratik adalah berkuasanya militer secara
institusional, penyingkaran dari partisipasi, kooptasi terhadap organisasi
massa. Gaya pemerintahan yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi
berdasarkan filsafat trickle down effek mengisaratkan bahwa pertumbuhan ekonomi
yang Iebih tinggi harus dicapai terlebih dahulu sebelum dibagikan secara
m.erata kepada seluruh masyaraka - harus dibayar dengan diberangusnya hak-hak
politik rakyat. Akibatnya pertumbuhan ekonomi tinggi ini hanya dinikmati oleh
minoritas-hal ini berdampak terjadinya kesenjangan antara si kaya dengan si
miskin.
Strategi Gerakan Sosial
Empat landasan dalam menyusun strategi gerakan
sosial, yaitu:Pertama, Ideologi, dasar filosofi gerakan merupakan
nilai-nilai yang menjadi landasan pergerakan mahasiswa. Sebuah institusi
kemahasiswaan yang mengemban idealisme yang tinggi harus memakai filsafat
gerakan pembebasan (liberasi) dan kemandirian (interdependensi). Liberasi
adalah sebuah metode alternatif untuk mencapai kebebasan individu, sehingga
individu tersebut mempunyai kualitas dan mental yang kuat untuk mendobrak dan
menggeser kekuasaan negara yang represif dan totaliter dan melakukan perlawaman
atas ekspansi hegemoni negara, untuk mengembalikan kekuasaan tersebut kepada
otoritas dan kedaulatan rakyat. Liberasi ini juga memberikan kebebasan
berekspresi dan kebebasan berfikir tanpa dipasung oleh sebuah rezim.
lnterdependensi adalah kemandirian dalam mengembangkan kreatifitas,
keterbukaan, rasa tanggungjawab dalam dinamika pergerakan untuk membangun
moralitas dan intelektualitas sebagai senjata dan tameng dalam setiap aksi.
Aksi yang diiringi dengan interdependensi akan mewujudkan kesadaran mahasiswa
dalam menjaga jarak dan hubungan dengan kekuasaan, sehingga aksi mahasiwa
merupakan kekuatan murni untuk membela kepentingan rakyat dan melakukan
transformasi sosial tanpa terkooptasi oleh kepentingan politik kelompok
manapun.
Kedua, Falsafah Gerakan, strategi ini lebih kepada falsafah bertindak
dengan model pendekatan (appoach methode). Dalam pendekatan ini gerakan
mahasiswa berupaya mengambil jarak dengan negara tanpa menafikan keberadaan dan
legitirnasinya, sehingga kekuatan negara dapat diimbangi oleh kekuatan masyarakat.
Model pendekatan ini adalah proses; (a) transformasi dari orientasi massa ke
individu, (b) transformasi dari struktur ke kultur, (c) transfornzasi dari
elitisme ke populisme, (d) transformasi dari negara ke masyarakat.
Ketiga, Segmenting, strategi ini merupakan pilihan wilayah gerak.
Yang harus dipahami bahwa terbentuknya Student Government adalah
sebagai upaya taktis untuk melakukan proses transformasi sosial, berangkat dari
student movement menuju ke social movement. Transformasi sosial merupakan
wahana yang paling kondusif untuk membebaskan kaum tertindas menuju masyarakat
mandiri (civil society). Gerakan mahasiswa juga harus mengarah pada advokasi
akan hak-hak kaum bawah, sehingga posisi mahasiswa merupakan penyambung lidah
dan jerit kaum yang termarginalkan oleh penguasa. Kebijakan pemerintah yang
sentralistik tanpa melibatkan rakyat dalam mengambil keputusan yang menyangkut
kepentingan publik, serta konstalasi politik yang carut marut merupakan lahan
garapan mahasiswa baik yang ada di intra parlemen yaitu BEM atau organisasi
ektra perlementer atau luar kampus seperti PMII, HMI MPO, HMI DIPO, IMM, KAMMI,
FPPI, LMND dan organisasi ekstra palementer lainnya.
Keempat, Positioning, artinya adalah bahwa lembaga eksekutif tersebut
harus meletakkan dasr organisasi sebagai institusi profit atau non-profit.
Idealnya menurut hemat penulis bahwa lembaga eksekutif ini yang berada pada
jalur intra parlementer lembaga kemahasiswaan ini menggeser paradigrna yang
tadinya dari gerakan student movement menjadi social movement. Sehingga aras
gerak yang dilakukan lebuih kepada pemberdayaan rakyat keeil yang tertindas dan
terhegemoni oleh kekuasaan yang represif.
Mahasiswa dan Globalisasi: Sebuah Kajian Sejarah
Gerakan mahasiswa, baik dikomando oleh intra
maupun ekstra tidak pernah muneul dalam ruang hampa. Sebuah pergerakan akan
tetap muncul dalam fase sejarah apapun. Entah itu fase feodalisme,
kolonialisme, kemerdekaan, totalitarianisme, liberalisme, Namun demikian
gerakan mahasiswa bukanlah entitas yang seragam. Ada pandangan bahwa
"gerakan" akan muncul sebagai sebuah reaksi spontan walaupun tidak
terorganisir denganjelas. Misalnya gerakan mahasiswa akan muneul jika harga
sembako naik, BBM melambung tinggi, atau isu-isu lainnya yang anggap populis. Namun
demikian pada hakekatnya sebuah gerakan (movement) merupakan upaya melakukan
antitesa dari kondisi status-quo yang konservatif dan tidak memiliki kepekaan
akan cita-cita masyarakat yang lebih maju. Mereka percaya atas
"testamen" pernyataan sejarah bahwa tidak ad~ yang abadi di dunia ini
kecuali perubahan. Toh, manusia akan selalu ada dalam pergulatan dialektik
untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Berangkat dari kondisi inilah saya
akan coba memaparkan pandangan tentang hakikat gerakan perubahan yang di dalarnnya
terkandung subjek sejarah yaitu gerakanmahasiswa. (Saya orang yang pereaya
bahwa hakikat dari gerakan politik mahasiswa pada umurnnya adalah perubahan).
Ia (GM-red) tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan yang
ada untuk digantikan dengan situasi yang di anggap lebih memenuhi harapan.
Philip G. Albach dalam bukunya Student in Reoolt, melihat posisi gerakan
mahasiswa berada dalam dua level yaitu sebagai proses peru bahan, yaitu
menumbuhkan perubahan sosial dan mendorong perubahan politik (Insyaallah sudah
diterjemahkan oleh sahabat dari Litera berjudul Revolusi Mahasiswa tetapi
sampai saat ini saya tidak memberikan pendapat apakah terjemahannya bagus atau
tidak). Sejarah juga banyak mencatat bagaimana GM bisa bergerak dalam level sistem
politik yang akan meluas pada pengaruh kebudayaan dan sosial. Hidup di negara
berkembang seperti Indonesia kita memiliki banyak referensi tentang gerakan
mahasiswa baik perkembangan waktu, berbagai perubahan ideologi maupun strategi
dan taktiknya. Seeara historis tulisan ini akan melaeak mengapa gerakan
mahasiswa dibutuhkan dalam konteks perkembangan masyarakat negara Dunia Ketiga.
Legitimasi Sejarah Gerakan Mahasiswa
Mari kita laeak latar belakang mengapa gerakan
mahasiswa banyak muneul di negara berkembang. Pertama, modernisme
dalam banyak bidang ekonomi politik, terutama dalam rangkaian dengan kekuasaan,
oleh kekuatan dan dominasi ekonomi politik negara-negara Utara terhadap
negara-negara Selatan, menyebabkan terjadinya transformasi sosial dalam bentuk
kolonialisme, imperialisme sampai neo liberalisme yang terjadi hingga sekarang
ini. Fakta akan adanya dominasi dan kesenjangan kelas semakin kentara dan tidak
bisa di tutup-tutupi. Ini yang menjadi latar belakang utama kemunculan
gerakan-gerakan pembebasan yang banyak didominasi kelompok muda intelektual
yaitu mahasiswa. Dalam banyak hal keterlibatan gerakan mahasiswa dalam
gerakan-gerakan terutama gerakan politik banyak mendapat pengaruh dari kondisi
domestik maupun global. Namun hal yang eukup menjadi dorongan utama adalah
kondisi politik dalam negeri. MisaInya saja kediktatoran pemerintaham militer
Soeharto atau kediktatoran rezim yang sarna di Amerika Latin menjadi pemicu
awal dari tumbuhnya gerakan-gerakan demokratik mahasiswa.
Kedua, di Indonesia Gerakan Mahasiswa mendapat suatu legitimasi
sejarah atas keturutsertaannya terlibat dalam gerakan kemerdekaan dan semenjak
berdirinya negara menjadi bagian yang di akui dari sistem politik. Jika kita
telusuri, misaInya, perjuangan kemerdekaan Nasional yang didorong Soekarno Cs
lewat kelompok-kelompok studinya, Hatta lewat Perhimpunan Indonesianya, temyata
efektif dan mampu seeara luas membangkitkan perasaan untuk sesegera mungkin
lepas dari belenggu kolonialisme. Kelompok yang dulunya di sebut "pemuda pelajar"
ini menjadi semaeam "martir kelompok terdidik" yang membawa angin
perubahan untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat akan kemerdekaan. Ketiga,
kekurangan lembaga dan struktur politik yang mapan. Akibat dari itu adalah
relatif mudahnya bagi setiap kelompok yang terorganisir untuk mempunyai dampak
langsung tehadap politik. Eksistensi politik GM muncul ketika kebutuhan
tersebut hadir. Apalagi di barisan bawah gerakangerakan yang disponsori rakyat
belum terakomodasi menjadi kekuatan perubahan yang signifikan. GM mulai
membentuk suatu elit, sehingga merasa berperan dalam kemungkinan terjadinya
transformasi sosial yang Iebih luas. Akses informasi tentang situasi
perpolitikan memungkinkan banyak telaah untuk pembuktian bahwa proses
regimentasi politik totaliter harus mendapat tanggapan yang serius dan
diterjemahkan dalam bentuk gerakan-gerakan yang lehih konkrit. Banyak di antara
universitas yang berada di perkotaan yang sebagian besar populasi mahasiswa
berada dalam jarak jangkauan yang mudah terhadap pusat kekuasaan. Ini
memungkinkan GM mudah melakukan sebuah aksi untuk memblow-up isu yang potensial
dalam upaya pemobilisasian kesadaran massa yang lebih maju. Beberapa fenomena
politik mahasiswa menjadi makin membesar karena ia di lakukan di tempat-tempat
yang relatif mudah di jangkau media. Peristiwa 1965, 1974, sampai peristiwa mei
98 menjadi semaeam pilot project radikalisme mahasiswa yang bergerak di lini
oposisi pemerintahan. GM kemudian meneuat menjadi semaeam gerakan-gerakan ujung
tombak (avant garde), dan eksistensinya semakin menjadi jelas ketika di dalam
pereaturan politik di tingkatan negara dan massa akar rumput (grass roots),
merasa kekurangan oposisi dari sistem politik rezim parlementarian atau
sentralisme. Sehingga GM seringkali menjadi "cabang keempat" dari
sistem pemerintahan. Berbagai faktor seperti situasi ekonomi poUtik yang
memprihatinkan kehidupan umum, ketidakadilan sosial, kebijaksanaan luar negeri
pemerintah yang dianggap merugikan rakyat, politik yang telah menjadi tidak
demokratis, dari semua faktor tersebut, mahasiswa kemudian membuat jalinan
ideologis yang dalamjangka waktu panjang akan menimbulkan gerakan transformasi
sosial. Beberapa dekade terakhir GM meneoba untuk membedkan tawaran yang lebih
jauh mengenai hubungannya dengan realitas rakyat yang menderita akibat
perlakuan rezim. Pasea diberlakukan NKK/ BKK di semua perguruan tinggi, GM yang
memilih untuk tetap menjaga jarak dengan kekuasaan langsung bersentuhan dengan
kegiatan advokasi permasalahan rakyat.l<asus Badega, Kedung Ombo, Rancamaya,
dB, menjadi saksi kegigihan GM yang tidak lagi mengemukakan ekspresi teoritik
dalam diskusi-diskusi tapi langsung bergerak dalam llevel praksis. Sampai
dengan tahun 1998 klimaks GM terjadi dan dalam skala luas memperoleh dukungan
luas dari rakyat.
Gerakan Mahasiswa Mengusung Isu Pendidikan
Selain kondisi-kondisi di atas, sebenarnya
faktor penting keterlibatan mahasiswa dalam gerakan-gerakan politik yaitu
faktor subjektif posisi kelas mahasiswa. Mahasiswa yang terdefinisikan dalam
wilayah akademisnya terutama mengenai kondisi pendidikan seringkali menjadi
pemieu yang eukup material dalam memotivasi GM. Seringkali mahasiswa dari kelas
menengah bawah merasa ia adalah generasi yang tersingkirkan terutama saat
ideologi developmentalisme gencar dipaksakan oleh rezim orde baru. Sehingga ada
gejala para lulusan PT yag kurang memenuhi "kualifikasi" pembangunan
dianggap merupakan faktor tersier yang tidak produktif dalam perekonomian. R.
Michels merumuskan nya sebagai kelas sosial proletar intelektual. Sampai saat
ini, kondisi pendidikan yang masih didominasi oleh kenyataan tidak bisa menjadi
jaminan sosial seperti harapan untuk mejadi orang-orang yang sukses dan bisa
memperoleh kemapanan hidup, memancing keresahan. Bayangan banyaknya generasi
lulusan yang menganggur, yang tercatat sampai 20% dengan kenaikan 2-3 persen
per tahun, membuat banyak mahasiswa kebat-kebit meyaksikan ini. Harapan
perubahan yang berkembang rnenjadi upaya transformasi sosial, membuat
kelompok-kelompok mahasiswa bereksperimen membentuk komunitas yang bisa secara
lugas akar penyebab ketidak adilan ini Sehingga saya pikir cara-cara baru
sosialisasi, pengembangan pendidikan yang antiotoriter, serta bentuk-bentuk
persahabatan baru, kesemuanya ini bukan hanya upaya untuk mengubah pola-pola
masyarakat yang ada tetapi juga usa aha memecahkan persoalan-persoalan pribadi
mereka. Apalagi sistem pendidikan menjadi sangat rancu dan berorientasi pada
pengukuhan dominasi idelogis negara hadir dengan kuatnya. Peran ideologisasi
pragmatisme negara menyebabkan mahasiswa merasa teralienasi. Konsensus kelas
menengah mengenai nilai dan norma pendidikan yang hams mengacu pada kebutuhan
masyarakat konsumtif, dalam beberapa hal justru menjadikan rnahasiswa sadar
akan posisi konsumennya" sehinggga dalam aksi-aksinya mahasiswa mulai
mengidentifikasikan kelompoknya sebagai penolakan atas alienasi struktural ini.
GM seringkali hadir untuk menjematani gejala alienasi ini untuk secara
partsipatif berkenalan dengan realitas sosial.
Mahasiswa dan Pusaran Arus Neoliberalisme
Apa yang tersisa dari GM saat ini? Benarkah ia
berada dalam kondisi stagnan? Realitas historis apa yang di hadapi GM saat ini
? Benarkah GM masih terjebak dalam mimpi historis masyarakat yang utopia, yaitu
masyarakat imajiner dengan pemenuhan atas hasrat kemanusiaan yang mendalam,
mimpi-mimpi paling agung, dan aspirasi-aspirasi kemanusiaan yang paling tinggi.
Semua daya fisik, dan sosial bekerja bersama, dalam keselarasan untuk
memungkinkan semua hal yang dirasa perlu dan diinginkan oleh rakyat. Untuk
menjawab hal tersebut kita mungkin tidak bisa begitu saja membiarkanya menjadi
semacam "mimpi kebablasan." Semua yang bergerak tentu memakai prinsip
sebab akibat. Inilah prinsip sejarah yang diperkenalkan Marx sebagai fase
dialektika historis yang panjang. Kemampuan self of determination hanya bisa
terjadi jika ada fakta material historis yang mendukungnya, yaitu masih
dominannya penindasan manusia atas manusia dengan konflik kelasnya. Sehingga
ini bisa menjawab kekhawatiran adanya pelegitimasian sejarah masa lampau yang
buta dan tidak konteks dengan kondisi kontemporer. Kekhawatiran yang
diintrodusir oleh Karl Popper ini sebenamya mengada-ada.
Jika demikian dasar pemikirannya, tentulah
kita diharuskan menganalisa ulang situasi ekonomi politik yang berkembang saat
ini, agar bisa melihat kenapa GM seolah terjebak dalam lingkar kevakuman dan
tidak lagi mejadi instrumen politik yang signifikan. Persoalan GM saat ini
rnasih dihadapkan pada tiga permasalahan besar, pertama, antara
upaya membuka ruang demokrasi nasional dengan harapan munculnya gejolak
demokrasi arus bawah yang massif, kedua, persoalan perubahan
dinamika ekonomi politik global yang bermetamorfosis menjadi kekuatan
Neo-liberal yang kuat, yang sekarang ditambah variabel isu terorisme yang
dipicu peristiwa "black september", dan ketiga, dan yang
masih krusial, adalah bagaimana mendesign ulang format gerakan yang lebih
terkonsolidir dan maju.
Ketiga, permasalahan di atas akan terurai
dengan kenyataan objektif yang ada di lapangan. Di tingkatan upaya memangun
demokrasi nasional masih dihadapkan pada keterbatasan negara. Ketika Gus-Dur
naik ada setitik harapan terjadinya transformasi yang signifikan dalam periode
transisi demokrasi. Tuntutan pembersihan negara dari unsur kekuatan lama
(Golkar, Milter, dan borjuasi korup) mengalami kebuntuan. Jelas ini sebuah
kekalahan gerakan demokratik. Bahkan ketika terjadi konspirasi parlemen untuk
menjatuhkan Gus Dur, gerakan Prodem, terutarna GM, seolah tidak berdaya. Upaya
keras mewujudkan transisi demokrasi seperti membentur dinding tebal yang di
pasang kekuatan lama dan "generasi oportunis" yang merasa tidak
nyaman dengan upaya perubahan yang ada.
Nakknya Megawati semakin membawa
ketidakjelasan arah gerakan perubahan. Ha ini bisa terlihat dari kenyataan
pasca-pemerintahan yang menganut prinsip sentralisme politik menjadi rezim
parlementarisme, prinsip demokrasi menjadi ajang jual beli dan menguntungkan
kekuatan politik yang memiliki akses kekuasaan yang besar. Tarik ulur kekuasaan
mengarah pada bandul otoritarianisme baru. Kedekatan Megawati dengan mantan
penjahat HAM seperti letjend. Sutiyoso, dan jendral lainnya, membuat agenda
pengadilan HAM terlupakan. Belum lagi permasalahan ekonomi yang semakin runyam
dikarenakan pemerintah tidak tegas dalam menyikapi ketergantungan yang
diciptakan oleh para agen Neo-liberal, seperti IMF, WB, CGI, dll. Imbas dari
kesemuanya adalah indonesia terperangkap dalam jerat hutang berkisar 3000
trilyun yang akan jatuh tempo 2003 ini. Juga, persoalan pengangguran yang
mencapai 59, 84 % dari 95, 7 juta angkata kerja, dan penjualan banyak aset
negara untuk diswastakan ke perusahaan multinasional yang punya modal besar.
Yang paling ironis adalah munculnya lagi gerakan intimidasi/teror ketakutan
terhadap gerakan prodem terutama GM dengan kekerasan, penangkapan, dan upaya
memobilisasi kekuatan reaksioner untuk mengalau gerakan Prodem. Dalam kondisi
yang seperti ini tentu harus ada posisi yang tegas dari GM, konsolidasi
demokratik antarelemen GM yang lemah dan menjadi kritik yang terbuka. Sebab
isolasi sosial akan tetap menjadi kemungkinan karena GM sangat rentan untuk
dimarginalisasi dan dialienasi dari sistem politik dan sosial, hanya dengan
sitgma-stigma yang menciptakan ketakutan. Komunisme masih mejadi
"momok" historis dan ini yang terus di eksploitasi. Pasea gemerlap
"booming" gerakan mahasiswa 1998 yang mejadi sorotan luas perishwa
politik nasional, saatini gerakan mahasiswa mesti sudah mengetahui kelemahan
strategi dan taktik gerakan yang kurang bisa melakukan injeksi kesadaran massa
yang meluas lewat pendidikan politik yang lebih maju dan nir-kekerasan. Karena
isolasi so sial yang dialami eM juga tidak terlepas dari kebanyakan masyarakat
dunia ke-3. Johan ealtung menyebumya sebagai hasil dari "kekerasan
struktural" yang berasal dari penerapan konflik kepentingan negara dan
rakyat yang dikondisikan untuk memenuhi prasyarat Living Condition masyarakat
pinggiran, yang berusaha menerapkan butir-butir proyek imperialisasi dunia. eM,
dalam kondisi ini harus meneari jawaban bersama, karena dalam kegilaan sistem
yang ada saat inimasyarakat, termasuk mahasiswa, akan semakin terseret pada
upaya pragmatis untuk membenarkan penindasan yang dilakukan masyarakat industri
seperti yang dikatakan H. Mareuse sebagai Masyarakat/ manusia satu dimensi (one
dimention man).
Lalu seperti apakah posisi GM di tengah zaman
bergerak (age of motion), fase milenium, di mana isu internasional yang
berkembang adalah terorisme dan pasar bebas/neo liberalisme. Di tengah konteks
seperti ini ada yang menilai bahwa polarisasi orientasi gerakan semakin
menajam. Ada analisa yang mengemukakan gerakan-gerakan di dunia akan bergerak
pada juga kategori. Kategori pertama adalah gerakan fundamentalis, yang
tercitrakan lewat gerakan militansi agama yang dogmatis, kedua adalah gerakan
Nasionalisme, gerakan ini rnuncul dan massif ketika gerakan fassis nasonalis
mulai menjadi anearnan di banyak negara. Di Prancis, Kekuatan fasis Jean Marie
Lepen, hampir membuka sentiman itu, di Belanda, bahkan di Indonesia mulai
banyak bermunculan fasisme gaya baru berupa pensakralan simbol-simbol primordialisme
dan ketakutan pemberontakan yang berlebih-Iebihan. Ketiga, gerakan anti
globalisasi dan neo liberalisme. Pada ban yak gerakan demokratik di dunia,
termasuk Indonesia, sangat marak tentang penolakan atas situasi ini. Ada banyak
tipe gerakan, ada LSM, individu, dan organisasi massa yang solid dan punya
garis politik seperti eM. eM dalam ban yak diskursus mesh menempatkan situasi
ini untuk melaunching platform Anti imperialisme. Karena kapitalisme, dalam
coraknya yang paling progressif adalah lewat irnperialisme. Hal ini tepat
seperti yang diramalkan V.l Lenin bahwa "imperialisme adalah puncak
kapitalisrne". Imperialisme gaya baru ini tentu menimbulkan fase baru
penindasan yang lebih licik dan terorganisir.
Kemudian yang juga cukup krusial adalah
permasaIahan internal eM. Banyak krihk otokritik yang bisa menjadi pelajaran
berharga. Namun seringkali memang itu tidak bisa berjalan dengan sempuma.
Banyak eM yang mulai memperhatikan pula tentang upaya pendemokratisasian
kampus. Persoalan domestik ini menjadi krusial karena bisa menjembatani
"kesadaran apolitis" mahasiswa dengan realitas objektif berupa
ketidakbeeusan negara dalam mengurusi pendidikan sekalipun. DaIam beberapa hal,
memang jumlah gerakan daIam bentuk demonstrasi maupun aktivitas militansi
mahasiswa saat ini tidak bisa dibandingkan dengan gemuruh 98-an, namun
aksi-aksi seeara sporadis yang menyikapi banyak permasalahan domeshk seperti
pendidikall, memberikan indikasi bahwa kesadaran politik di dalam gerakan
mahasiswa tidak sepenuhnya meluntur dan bahkan isu-isu yang
"dramatis" seperti persolan mekanisme demokratisasi kampus dapat
memobilisasi mahasiswa.
Feodalisme pendidikan dalam bentuk "in
loco parentis" di tingkatan universitas juga kembali memperoleh perhahan
dari eM. Seeara tidak langsung situasi pendidikan yang konservatif, yang masih
kaku dalam memenuhi rasa keingintahuan mahasiswa akan dunia politik ini
mempengaruhi dinamika mahasiswa. Berbagai macam proyek liberalisasi pendidikan
yang dalam perkiraan akan menimbulkan kebebasan berekspresi mahasiswa, justru
berkebalikan. Pendidikan tetap tidak bisa menampilkan wajahnya yang humanis ini
visa terdeteksi dengan melambungnya biaya pendidikan dan pembatasan-pembatasan
akademik lainnya yang membatasimahasiswa di dalamnya. Permasalahan komunikasi
politik, sebagai bagian dari sosialisasi program dan sikap politik harus tetap
menjadi sebuah prioritas utama. Media komunikasi dalam bentuk terbitan, seperti
yang di lakukan kawankawan PMIl ini, harus tetap di genearkan. Oalam ban yak
hal komunikasi politik "bawah tanah" ini mendapat sambutan yang lebih
luas karena ia bisa menjadi semaeam media dalam mata rantai komunikasi yang
membantu pembentukan pandangan-pandangan ideologis dan mengkomunikasikan
pandangan tersebut. Kemudian, jika saya amah, aktivitas GM mahasiswa saat ini
kembali kepada masa "keakuan," yang seringkali justru menjadi kendala
sulit untuk melakukan kembali konsolidasi dalam menyikapi perubahan yang
berlangsung eepat. Jika dulu seringkali ativitas gerakan berfungsi sebagai
saluran bagi impuls-impuls mahasiswa yang nakal atau pemberontak, namun saat
ini gerakan harus menjadi sesuatu hal yang padu antara intelektualisme dengan
praksis gerakan yang radikal. GM sekarang, secara dewasa tentu tidak lagi
berdebat tentang permasalahan apakah harus kritik moral ataukah gerakan politik
yang lebih luas. Karena jelas, bahwa tentu sebagian besar dari kita sebagai
aktivis GM, bisa menjelaskan radikalisme yang muncul sebagai tanggapan atas
kesenjangan cita-cita rnasyarakat yang ideal dengan kondisi aktual yang jelas
bertentangan dengan cita-cita tersebut. Sehingga jelas gerakan yang kemudian
muncul akan beririsan tegas dengan struktur ekonomi politik negara
suprastruktur.
Progresifitas Gerakan Mahasiswa
Kesadaran elit yang abstrak berbaur dengan
ketakutan relatif hilangnya posisi kelas (deklassierung). Sejalan dengan
kesadaran elit yang abstrak, pada massa yang akan datang sulit akan
membayangkan bisa berjalan harapan akan "mesianisme" massa GM.
Persoalan peran rnahasiswa sebagai intermediary antara state dan society,
seringkali menjebak GM hanya pada posisi netral. Konstruksi ini menjadikan GM
seringkali sebagi wadah "rornantis-romantisan" bagi orang-orang yang
ingin melampiaskan syahwat mudanya. Sementara yang lebih penting adalah bahwa
perubahan yang harus terus dilakukan tidak bisa berhenti begitu saja. GM tidak
saja harus mengimbangi otoritaranisme negara tetapi ke dalam dan antarelemen
saling memberikan pengalarnan dan pendidikan politik. Di tengah deru neo
liberalisme yang hampir akan menjadi ideologi dominan, GM makin dituntut untuk
bisa membaca dengan jelas berbagai macam kontradiksi di dalam rnasyarakat
industrial. Sehingga ada analisa yang jelas dan konkret mengenai pertanyaan
"what's to be done" . GM tentu tidak akan berdiri sendiri, ia harus
berhubungan dengan sektor perubahan yang lannya seperti buruh, tani, KMK, dll.
Namun akan semakin susah jika gerakan-gerakan sektoral yang sedianya akan
menjadi sekutu dekat GM semakin terjebak dalam lingkar pragmatisme konflik yang
menyeret kesadaran politis kelas pekerja menjadi sekedar gerakan-gerakan
normatif yang tak berujung pangkal.
Saya sering membayangkan bahwa ada saja kemungkinan GM
terperangkap dalam "politik abu-abu" I grey area yang di pasang
negara maupun penguasa modal, dengan jalan memberikan respon-respon gerakan
yang bisa tidak menyentuh substansi perubahan, yaitu mewujudkan bentuk
demokrasi nasional yang akan meluas menjadi revolusi nasional. Semisal saja
tentang kebijakan pemerintah di bidang perburuhan, hanya rnampu meciptakan
diskursus dan gerakan normatif. Sementra untuk perubahan kesejahteraan tidak
pemah terwujud. Begitu pula tentang berbagai isu tentang HAM, separatisme,
terorisme, amandemen, dll, seolah mengajak kita untuk terus-menerus berskap
reaksioner dan mudah terprovokasi.
Dalam berbagai kasus di Eropa dan Amerika,
ketika mahasiswa terjebak dalam kefrustasian konflik masyarakat industrial yang
rnakin pelik, ada kemungkinan akan terjebak dalam bemtuk fundamentalisme
gerakan. Bahkan mungkin akan menyerempet menjadi gerakan-gerakan teror. Di
ltalia mungkin rnasih kita ingat bagaimana GM yang cukup radikal di sana yaitu
brigate ross brigade merah) atau autonomia operaia menjadi gerakan teror yang
menakutkan, di Jerman faksi baader- meinhoff I sempalan SDS menjadi faksi
frustasi yang akhimya menjadi gerakan teror, atau di Jepang GM berubah menjadi
pasukan seikegunltentara merah yang banyak menebar teror dalam tiap aksinya. Di
sini, mungkin akan berbeda situasinya. Indonesia yang merupakan negara marjinal
dan terbelakang, GM akan bersimbiosis erat dengan kekuatan sektoral. Karena
masih jelas bentuk kontradiksi yang dihadapi kelas pekerja, bentuk krisis
sosial dan ekonorni politik sernakin menghebat, dalam beberapa waktu mendatang
akan memberikan sebuah realitas historis agar rakyat turut bergerak.
Kefrustasian GM akan justru akan terjawab dengan kontradiksi yang lebih terbuka
ini. Apalagi ada indikasi melemahnya pusat kekuasan kapitalisme di Amerika
mungkin dalam jangka yang akan panjang menyebabkan pula perubahan pola
kepemimpinan ekonomi politik dunia. Dalam resesi yang akan berlanjut, posisi
gerakan demokratik terutarna GM akan mengalarni fase yang bisa jadi seperti era
98-an, di mana akan memicu keresahan dalam skala yang cukup luas dan ini akan
menjadi semacam "reedukasi" perlawanan yang dengan bekal pengalaman
sebelumnya akan menjadi gerakan politik yang lebih matang. Mari kita bekerja,
berkarya dan bercinta dengan satu hal: Kemerdekaan.
GENEOLOGI GERAKAN MAHASISWA INDONESIA
Akar Sejarah di Indonesia
Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan
kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan
untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para
aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia,
gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti
yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. Sejarah Gerakan mahasiswa yang
tertua yang tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia adalah Perhimpoenan
Indonesia di Belanda, yang didirikan pada 1922 oleh Mohammad Hatta, yang saat
itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam. Pada tahun 1965
dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang
ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66,
yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara
sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh
mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan
Orde Baru, di antaranya Akbar Tanjung, Cosmas Batubara Sofyan Wanandi, Yusuf
Wanandi, dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara.
Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa
menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah
Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan
banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan
Orde Baru. Masa Orde Baru Dalam perkembangannya di kemudian hari, Orde Baru
juga banyak mendapatkan koreksi dari germa seperti dalam gerakan-gerakan
berikut:
- Gerakan
anti korupsi yang diikuti oleh pembentukan Komite Anti Korupsi, yang diketuai
oleh Wilopo (1970).
- Golput
yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada
1972 karena Golkar dinilai curang.
- Gerakan
menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur
banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
- Gerakan
mahasiswa Indonesia 1974. Gerakan memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang
datang ke Indonesia pada 1974. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi
peristiwa Malari pada 15 Januari 1974, yang mengakibatkan dihapuskannya
jabatan Asisten Pribadi Presiden.