Selasa, 25 November 2014

Tugas ISD 3 : Peran Mahasiswa untuk Meningkatkan Sosialisasi yang Baik di Masyarakat

Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional, sehingga pemuda merupakan sumber daya manusia pembangunan baik saat ini maupun masa datang.
Pengertian sosialisasi mengacu pada suatu proses belajar seorang individu yang akan mengubah dari seseorang yang tidak tahu menahu tentang diri dan lingkungannya menjadi lebih tahu dan memahami. Sosialisasi merupakan suatu proses di mana seseorang menghayati (mendarahdagingkan – internalize) norma-norma kelompok di mana ia hidup sehingga timbullah diri yang unik, karena pada awal kehidupan tidak ditemukan apa yang disebut dengan “diri”.
Dan sosialisasi juga merupakan proses yang membantu individu melalui media pembelajaran dan penyesuaian diri, bagaimana bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Selain itu Sosialisasi diartikan sebagai sebuah proses seumur hidup bagaimana seorang individu mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang meliputi cara-cara hidup, nilai-nilai, dan norma-norma sosial yang terdapat dalam masyarakat agar dapat diterima oleh masyarakatnya. Berikut pengertian sosialisasi menurut para ahli:
·         Charlotte Buhler
Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.
·         Peter Berger
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
·         Paul B. Horton
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
·         Soerjono Soekanto
Sosialisasi adalah proses mengkomunikasikan kebudayaan kepada warga masyarakat yang baru.
Peranan Mahasiswa & Pemuda di Masyarakat 
Secara umum, mahasiswa (pemuda  memiliki tiga peran pokok yakni:
a.    peran moral,
b.    peran sosial,
c.    peran intelektual.
Pertama, peran moral adalah bahwa mahasiswa memiliki hak untuk menentukan sendiri kehidupannya. Disinilah dituntut rasa tanggung jawab kepada diri sendiri atas konsekuensi dari apa yang telah menjadi pilihannya.
Kedua, peran sosial adalah bahwa segala perilaku dan tindakan yang dilakukan mahasiswa tentu memberikan pengaruh terhadap lingkungan sekitarnya. Maka selain pada diri sendiri, mahasiswa juga dituntut untuk mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada lingkungan masyarakat sekitar.
Terakhir, peran intelektual adalah bahwa mahasiswa sebagai insan cendikia dituntut untuk dapat mengaplikasikan ilmunya ke dalam kehidupan masyarakat secara nyata.
Mahasiswa kerap pula digadang-gadangkan sebagai agen perubahan (agent of social change). Tentu saja bukan atribut tanpa makna. Gelar yang disandang mahasiswa ini membawa konsekuensi serius dalam kehidupan bermasyarakat. Mahasiswa –dalam perspektif masyarakat– adalah kaum terdidik yang mampu menjadi motorik (penggagas sekaligus penggerak) perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat. Maka dengan demikian, pengharapan masyarakat akan kontribusi nyata mahasiswa begitu besar. Ini kemudian menjadi pertanyaan, sejauh mana kita (sebagai mahasiswa) berperan serta dalam upaya penyelenggaraan perubahan sosial masyarakat? Pertanyaan yang hanya dapat dijawab oleh masing-masing penyandang gelar itu sendiri.

Internasilasi, Belajar, dan Sosialisasi
Ketiga kata atau istilah tersebut pada dasarnya memiliki pengertian yang hampir sama. Proses berlangsungnya sama yaitu melalui interaksi sosial. istilah internasilasasi lebih ditekankan pada norma-nroma individu yang menginternasilasikan norma-norma tersebut. Istilah belajar ditekankan pada perubahan tingkah laku, yang semula tidak dimiliki sekarang telah dimiliki oleh seorang individu. istilah spesialisasi ditekankan pada kekhususan yagn telah dimiliki oleh seorang individu, kekhususan timbul melalui proses yang agak panjang dan lama.
Proses Sosialisasi
Ada 2 teori proses sosialisasi yang paling umum digunakan, yaitu teori Charles H. Cooley dan teori George Herbert Mead.
1.      Teori Charles H. Cooley lebih menekankan pada peran interaksi antar manusia yang akan menghasilkan konsep diri (self concept). Proses pembentukan konsep diri ini yang kemudian disebut Cooley sebagai looking-glass self terbagi menjadi tiga tahapan sebagai berikut.
” Seorang anak membayangkan bagaimana dia di mata orang lain.”
Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki prestasi dan sering menang diberbagai.
“Seorang anak membayangkan bagaimana orang lain menilainya.”
Dengan perasaan bahwa dirinya hebat, anak membayangkan pandangan orang lain terhadap dirinya. Ia merasa orang lain selalu memujinya, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini muncul akibat perlakuan orang lain terhadap dirinya. Misalnya, orang tua selalu memamerkan kepandaiannya.
“Apa yang dirasakan anak akibat penilaian tersebut”
Penilaian yang positif pada diri seorang anak akan menimbulkan konsep diri yang positif pula.Semua tahap di atas berkaitan dengan teori labeling, yaitu bahwa seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak di beri label “nakal”, maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai “anak nakal” sesuai dengan penilaian orang terhadapnya, meskipun penilaian itu belum tentu benar.

Peranan Sosial Mahasiswa dan Pemuda di Masayrakat
Peranan sosial mahasiswa dan pemuda di masyarakat, kurang lebih sama dengan peran warga yang lainnnya di masyarakat. Mahasiswa mendapat tempat istimewa karena mereka dianggap kaum intelektual yang sedang menempuh pendidikan. Pada saatnya nanti sewaktu mahasiswa lulus kuliah, ia akan mencari kerja dan menempuh kehidupan yang relatif sama dengan warga yang lain.
Secara tak sadar namun perlahan tapi pasti, para generasi muda dihinggapi dengan idiologi baru dan perilaku umum yang mendidik mereka menjadi bermental instan dan bermental bos. Pemuda menjadi malas bekerja dan malas mengatasi kesulitan, hambatan dan proses pembelajaran tidak diutamakan sehingga etos kerja jadi lemah.
Sarana tempat hiburan tumbuh pesat bak “jamur di musim hujan” arena billyard, playstation, atau arena hiburan ketangkasan lainnya, hanyalah tempat bagi anak-anak dan generasi muda membuang waktu secara percuma karena menarik perhatian dan waktu mereka yang semestinya diisi dengan lebih banyak untuk belajar, membaca buku di perpustakaan, berorganisasi atau mengisi waktu dengan kegiatan yang lebih positif.
Peran pemuda yang seperti ini adalah peran sebagai konsumen saja, pemuda dan mahasiswa berperan sebagai “penikmat” bukan yang berkontemplasi (pencipta karya). Dapat ditambahkan disini persoalan NARKOBA yang dominan terjadi di kalangan generasi muda yang memunculkan kehancuran besar bagi bangsa Indonesia.
Sumber:


Tugas ISD 2: Pergerakan Mahasiswa Saat Ini

LATAR BELAKANG SEJARAH PERGERAKAN MAHASISWA

Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia, sesuai dengan konteks jamannya, haruslahmemberikan kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam orientasi dan tindakan politiknya, benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struktural rakyatIndonesia. Orientasi dan tindakan politik cermin daripada bagaimana mahasiswa Indonesiamemahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasinilai-nilai tujuan ideologinya. Karena pranata mahasiswa merupakan gejala pada masyarakat yang telah memiliki kesadaran berorganisasi, dan mahasiswa merupakan golongan yang di berikan kesempatan sosial untuk menikmati kesadaran tersebut, maka asumsi bahwa gerakan mahasiswa memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kegunaan organisasi dalam gerakkannya adalah absah. Dengan demikian kronologi sejarah gerakan mahasiswa harus memperhitungkan batasan bagaimana mahasiswa memberikan nilai lebih terhadap organisasi. namun demikian tidak adamaksud untuk menghargai gerakan rakyat spontan.
Mahasiswa dapat dikatakan sebuah komunitas unik yang berada di masyarakat, dengan kesempatandan kelebihan yang dimilikinya, mahasiswa mampu berada sedikit di atas masyarakat. Mahasiswa jugabelum tercekcoki oleh kepentingan-kepentingan suatu golongan, ormas, parpol, dsb. Sehingga mahasiswa dapat dikatakan (seharusnya) memiliki idealisme. Idealisme adalah suatu kebenaran yang diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut.
Berdasarkan berbagai potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa, tidak sepantasnyalah bila mahasiswa hanya mementingkan kebutuhan dirinya sendiri tanpa memberikan kontribusi terhadapbangsa dan negaranya. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan pularakyat, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namunbukan berarti memisahkan diri dari masyarakat.
SEJARAH GEOPOLITIK-EKONOMI NASIONAL, INTERNASIONAL
Pelacakan Gerakan Mahasiswa Level Makro
Kecenderungan menguatnya neo-Iiberalisme terjadi dimana-mana, terutama di negar berkembang atau negara dunia ketiga. Kecenderungan itu ditunjukkan oleh peran membesar yang dipermainkan oleh berbagai intitusi perekonomian dunia, seperti; [nternationa! Monetarian ftmd (IMF), International Bank for Recontruction of Development (IBRD), World Trade Organization (WTO). Institusi yang didukung penuh oleh negara-negara maju begitu ganas mempromosikan struktur perekonomian dunia yang leizes-fair (membiarkan sesuai mekanisme pasar) dan meminimalisir campur tangan negara yang dihegemoni. Neo-liberalisme temyata menjadi gurita panas yang mengecam kekuatan ekonomi di negara berkembang. Pandangan bebasa ini menjadi paradoks dengan sedemikian rupa mengatur mekanisme perekonomian dunia. Dengan melihat struktur perekomian negara-negara pheriphery bisa disimpu1kan bahwa kecenderungan neo-liberalisme ini sangat mempengaruhi perekonomian di tingkat akar rumput. Mainstream kapitalisme global dengan wajah baru telah merasuk dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemegang kebijakan di masing-masing negara berkembang. Menghadapi konsekuensi buruk kapitalisme global dan neo­Iiberalisme itu menjadi tesis runtuhnya negara berkembang. Perkembangan global kontemporer dipicu oleh perkembangan teknologi produksi, informasi, telekomunikasi, dan globalisasi. Kekuatan negara menjadi sernakin rapuh untuk mengontrol fluktuasi ekonomi politik. Keterpurukan negara berkembang setelah tidak bisa mengembalikan tatanan ekonomi ditambah lagi dengan pengabaian Human Right (HAM), komflik etnis, pelecehan seksual, eksploitasi buruh, konflik atas nama agama, inkonsistensi para birokrat, dan sekian rnasalah yang menjadi entitas problem.
Dalam hal perekonomian ciri-ciri struktur keterbelakangan negara indonesia diindikasikan dalam bemagai faktor kehidupan. Salah satu yang menjadi momok besar atau kesulitan menjadi negara maju adalah bahwa Indonesia tidak sanggup untuk bergabung dengan kapitalisme global, teritama sejak ORBA berkuasa tahun 60-an. Indonesia temyata msuk dalam kungkungan anak kandung kapitalisme yaitu developmentalisme (pembangunanisme). Ideologi developmentalisme temyata memaksa Indonesia untuk larut dalam gaya pembangunan kapitalis yang direpresentasikan melauli kebijakan negara yaitu REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun), kebijakan ini berdampak pada jaminan kesestabilan politik untuk menarik investor asing. Kestabilan politik ORBA ini dicapai dengan melakukan tindakan yang sangat dominatif dan bersifat Otoritarian-Birokratik terhadap kedaulatan rakyat. Indikasi dari gaya pemerintahan Otoritarian-Birokratik adalah berkuasanya militer secara institusional, penyingkaran dari partisipasi, kooptasi terhadap organisasi massa. Gaya pemerintahan yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi berdasarkan filsafat trickle down effek mengisaratkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang Iebih tinggi harus dicapai terlebih dahulu sebelum dibagikan secara m.erata kepada seluruh masyaraka - harus dibayar dengan diberangusnya hak-hak politik rakyat. Akibatnya pertumbuhan ekonomi tinggi ini hanya dinikmati oleh minoritas-hal ini berdampak terjadinya kesenjangan antara si kaya dengan si miskin.

Strategi Gerakan Sosial
Empat landasan dalam menyusun strategi gerakan sosial, yaitu:Pertama, Ideologi, dasar filosofi gerakan merupakan nilai-nilai yang menjadi landasan pergerakan mahasiswa. Sebuah institusi kemahasiswaan yang mengemban idealisme yang tinggi harus memakai filsafat gerakan pembebasan (liberasi) dan kemandirian (interdependensi). Liberasi adalah sebuah metode alternatif untuk mencapai kebebasan individu, sehingga individu tersebut mempunyai kualitas dan mental yang kuat untuk mendobrak dan menggeser kekuasaan negara yang represif dan totaliter dan melakukan perlawaman atas ekspansi hegemoni negara, untuk mengembalikan kekuasaan tersebut kepada otoritas dan kedaulatan rakyat. Liberasi ini juga memberikan kebebasan berekspresi dan kebebasan berfikir tanpa dipasung oleh sebuah rezim. lnterdependensi adalah kemandirian dalam mengembangkan kreatifitas, keterbukaan, rasa tanggungjawab dalam dinamika pergerakan untuk membangun moralitas dan intelektualitas sebagai senjata dan tameng dalam setiap aksi. Aksi yang diiringi dengan interdependensi akan mewujudkan kesadaran mahasiswa dalam menjaga jarak dan hubungan dengan kekuasaan, sehingga aksi mahasiwa merupakan kekuatan murni untuk membela kepentingan rakyat dan melakukan transformasi sosial tanpa terkooptasi oleh kepentingan politik kelompok manapun.
Kedua, Falsafah Gerakan, strategi ini lebih kepada falsafah bertindak dengan model pendekatan (appoach methode). Dalam pendekatan ini gerakan mahasiswa berupaya mengambil jarak dengan negara tanpa menafikan keberadaan dan legitirnasinya, sehingga kekuatan negara dapat diimbangi oleh kekuatan masyarakat. Model pendekatan ini adalah proses; (a) transformasi dari orientasi massa ke individu, (b) transformasi dari struktur ke kultur, (c) transfornzasi dari elitisme ke populisme, (d) transformasi dari negara ke masyarakat.
Ketiga, Segmenting, strategi ini merupakan pilihan wilayah gerak.
Yang harus dipahami bahwa terbentuknya Student Government adalah sebagai upaya taktis untuk melakukan proses transformasi sosial, berangkat dari student movement menuju ke social movement. Transformasi sosial merupakan wahana yang paling kondusif untuk membebaskan kaum tertindas menuju masyarakat mandiri (civil society). Gerakan mahasiswa juga harus mengarah pada advokasi akan hak-hak kaum bawah, sehingga posisi mahasiswa merupakan penyambung lidah dan jerit kaum yang termarginalkan oleh penguasa. Kebijakan pemerintah yang sentralistik tanpa melibatkan rakyat dalam mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan publik, serta konstalasi politik yang carut marut merupakan lahan garapan mahasiswa baik yang ada di intra parlemen yaitu BEM atau organisasi ektra perlementer atau luar kampus seperti PMII, HMI MPO, HMI DIPO, IMM, KAMMI, FPPI, LMND dan organisasi ekstra palementer lainnya.
Keempat, Positioning, artinya adalah bahwa lembaga eksekutif tersebut harus meletakkan dasr organisasi sebagai institusi profit atau non-profit. Idealnya menurut hemat penulis bahwa lembaga eksekutif ini yang berada pada jalur intra parlementer lembaga kemahasiswaan ini menggeser paradigrna yang tadinya dari gerakan student movement menjadi social movement. Sehingga aras gerak yang dilakukan lebuih kepada pemberdayaan rakyat keeil yang tertindas dan terhegemoni oleh kekuasaan yang represif.



Mahasiswa dan Globalisasi: Sebuah Kajian Sejarah
Gerakan mahasiswa, baik dikomando oleh intra maupun ekstra tidak pernah muneul dalam ruang hampa. Sebuah pergerakan akan tetap muncul dalam fase sejarah apapun. Entah itu fase feodalisme, kolonialisme, kemerdekaan, totalitarianisme, liberalisme, Namun demikian gerakan mahasiswa bukanlah entitas yang seragam. Ada pandangan bahwa "gerakan" akan muncul sebagai sebuah reaksi spontan walaupun tidak terorganisir denganjelas. Misalnya gerakan mahasiswa akan muneul jika harga sembako naik, BBM melambung tinggi, atau isu-isu lainnya yang anggap populis. Namun demikian pada hakekatnya sebuah gerakan (movement) merupakan upaya melakukan antitesa dari kondisi status-quo yang konservatif dan tidak memiliki kepekaan akan cita-cita masyarakat yang lebih maju. Mereka percaya atas "testamen" pernyataan sejarah bahwa tidak ad~ yang abadi di dunia ini kecuali perubahan. Toh, manusia akan selalu ada dalam pergulatan dialektik untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Berangkat dari kondisi inilah saya akan coba memaparkan pandangan tentang hakikat gerakan perubahan yang di dalarnnya terkandung subjek sejarah yaitu gerakanmahasiswa. (Saya orang yang pereaya bahwa hakikat dari gerakan politik mahasiswa pada umurnnya adalah perubahan). Ia (GM-red) tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan yang ada untuk digantikan dengan situasi yang di anggap lebih memenuhi harapan. Philip G. Albach dalam bukunya Student in Reoolt, melihat posisi gerakan mahasiswa berada dalam dua level yaitu sebagai proses peru bahan, yaitu menumbuhkan perubahan sosial dan mendorong perubahan politik (Insyaallah sudah diterjemahkan oleh sahabat dari Litera berjudul Revolusi Mahasiswa tetapi sampai saat ini saya tidak memberikan pendapat apakah terjemahannya bagus atau tidak). Sejarah juga banyak mencatat bagaimana GM bisa bergerak dalam level sistem politik yang akan meluas pada pengaruh kebudayaan dan sosial. Hidup di negara berkembang seperti Indonesia kita memiliki banyak referensi tentang gerakan mahasiswa baik perkembangan waktu, berbagai perubahan ideologi maupun strategi dan taktiknya. Seeara historis tulisan ini akan melaeak mengapa gerakan mahasiswa dibutuhkan dalam konteks perkembangan masyarakat negara Dunia Ketiga.

Legitimasi Sejarah Gerakan Mahasiswa
Mari kita laeak latar belakang mengapa gerakan mahasiswa banyak muneul di negara berkembang. Pertama, modernisme dalam banyak bidang ekonomi politik, terutama dalam rangkaian dengan kekuasaan, oleh kekuatan dan dominasi ekonomi politik negara-negara Utara terhadap negara-negara Selatan, menyebabkan terjadinya transformasi sosial dalam bentuk kolonialisme, imperialisme sampai neo liberalisme yang terjadi hingga sekarang ini. Fakta akan adanya dominasi dan kesenjangan kelas semakin kentara dan tidak bisa di tutup-tutupi. Ini yang menjadi latar belakang utama kemunculan gerakan-gerakan pembebasan yang banyak didominasi kelompok muda intelektual yaitu mahasiswa. Dalam banyak hal keterlibatan gerakan mahasiswa dalam gerakan-gerakan terutama gerakan politik banyak mendapat pengaruh dari kondisi domestik maupun global. Namun hal yang eukup menjadi dorongan utama adalah kondisi politik dalam negeri. MisaInya saja kediktatoran pemerintaham militer Soeharto atau kediktatoran rezim yang sarna di Amerika Latin menjadi pemicu awal dari tumbuhnya gerakan-gerakan demokratik mahasiswa.
Kedua, di Indonesia Gerakan Mahasiswa mendapat suatu legitimasi sejarah atas keturutsertaannya terlibat dalam gerakan kemerdekaan dan semenjak berdirinya negara menjadi bagian yang di akui dari sistem politik. Jika kita telusuri, misaInya, perjuangan kemerdekaan Nasional yang didorong Soekarno Cs lewat kelompok-kelompok studinya, Hatta lewat Perhimpunan Indonesianya, temyata efektif dan mampu seeara luas membangkitkan perasaan untuk sesegera mungkin lepas dari belenggu kolonialisme. Kelompok yang dulunya di sebut "pemuda pelajar" ini menjadi semaeam "martir kelompok terdidik" yang membawa angin perubahan untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat akan kemerdekaan. Ketiga, kekurangan lembaga dan struktur politik yang mapan. Akibat dari itu adalah relatif mudahnya bagi setiap kelompok yang terorganisir untuk mempunyai dampak langsung tehadap politik. Eksistensi politik GM muncul ketika kebutuhan tersebut hadir. Apalagi di barisan bawah gerakan­gerakan yang disponsori rakyat belum terakomodasi menjadi kekuatan perubahan yang signifikan. GM mulai membentuk suatu elit, sehingga merasa berperan dalam kemungkinan terjadinya transformasi sosial yang Iebih luas. Akses informasi tentang situasi perpolitikan memungkinkan banyak telaah untuk pembuktian bahwa proses regimentasi politik totaliter harus mendapat tanggapan yang serius dan diterjemahkan dalam bentuk gerakan-gerakan yang lehih konkrit. Banyak di antara universitas yang berada di perkotaan yang sebagian besar populasi mahasiswa berada dalam jarak jangkauan yang mudah terhadap pusat kekuasaan. Ini memungkinkan GM mudah melakukan sebuah aksi untuk memblow-up isu yang potensial dalam upaya pemobilisasian kesadaran massa yang lebih maju. Beberapa fenomena politik mahasiswa menjadi makin membesar karena ia di lakukan di tempat-tempat yang relatif mudah di jangkau media. Peristiwa 1965, 1974, sampai peristiwa mei 98 menjadi semaeam pilot project radikalisme mahasiswa yang bergerak di lini oposisi pemerintahan. GM kemudian meneuat menjadi semaeam gerakan-gerakan ujung tombak (avant garde), dan eksistensinya semakin menjadi jelas ketika di dalam pereaturan politik di tingkatan negara dan massa akar rumput (grass roots), merasa kekurangan oposisi dari sistem politik rezim parlementarian atau sentralisme. Sehingga GM seringkali menjadi "cabang keempat" dari sistem pemerintahan. Berbagai faktor seperti situasi ekonomi poUtik yang memprihatinkan kehidupan umum, ketidakadilan sosial, kebijaksanaan luar negeri pemerintah yang dianggap merugikan rakyat, politik yang telah menjadi tidak demokratis, dari semua faktor tersebut, mahasiswa kemudian membuat jalinan ideologis yang dalamjangka waktu panjang akan menimbulkan gerakan transformasi sosial. Beberapa dekade terakhir GM meneoba untuk membedkan tawaran yang lebih jauh mengenai hubungannya dengan realitas rakyat yang menderita akibat perlakuan rezim. Pasea diberlakukan NKK/ BKK di semua perguruan tinggi, GM yang memilih untuk tetap menjaga jarak dengan kekuasaan langsung bersentuhan dengan kegiatan advokasi permasalahan rakyat.l<asus Badega, Kedung Ombo, Rancamaya, dB, menjadi saksi kegigihan GM yang tidak lagi mengemukakan ekspresi teoritik dalam diskusi-diskusi tapi langsung bergerak dalam llevel praksis. Sampai dengan tahun 1998 klimaks GM terjadi dan dalam skala luas memperoleh dukungan luas dari rakyat.

Gerakan Mahasiswa Mengusung Isu Pendidikan
Selain kondisi-kondisi di atas, sebenarnya faktor penting keterlibatan mahasiswa dalam gerakan-gerakan politik yaitu faktor subjektif posisi kelas mahasiswa. Mahasiswa yang terdefinisikan dalam wilayah akademisnya terutama mengenai kondisi pendidikan seringkali menjadi pemieu yang eukup material dalam memotivasi GM. Seringkali mahasiswa dari kelas menengah bawah merasa ia adalah generasi yang tersingkirkan terutama saat ideologi developmentalisme gencar dipaksakan oleh rezim orde baru. Sehingga ada gejala para lulusan PT yag kurang memenuhi "kualifikasi" pembangunan dianggap merupakan faktor tersier yang tidak produktif dalam perekonomian. R. Michels merumuskan nya sebagai kelas sosial proletar intelektual. Sampai saat ini, kondisi pendidikan yang masih didominasi oleh kenyataan tidak bisa menjadi jaminan sosial seperti harapan untuk mejadi orang-orang yang sukses dan bisa memperoleh kemapanan hidup, memancing keresahan. Bayangan banyaknya generasi lulusan yang menganggur, yang tercatat sampai 20% dengan kenaikan 2-3 persen per tahun, membuat banyak mahasiswa kebat-kebit meyaksikan ini. Harapan perubahan yang berkembang rnenjadi upaya transformasi sosial, membuat kelompok-kelompok mahasiswa bereksperimen membentuk komunitas yang bisa secara lugas akar penyebab ketidak adilan ini Sehingga saya pikir cara-cara baru sosialisasi, pengembangan pendidikan yang antiotoriter, serta bentuk-bentuk persahabatan baru, kesemuanya ini bukan hanya upaya untuk mengubah pola-pola masyarakat yang ada tetapi juga usa aha memecahkan persoalan-persoalan pribadi mereka. Apalagi sistem pendidikan menjadi sangat rancu dan berorientasi pada pengukuhan dominasi idelogis negara hadir dengan kuatnya. Peran ideologisasi pragmatisme negara menyebabkan mahasiswa merasa teralienasi. Konsensus kelas menengah mengenai nilai dan norma pendidikan yang hams mengacu pada kebutuhan masyarakat konsumtif, dalam beberapa hal justru menjadikan rnahasiswa sadar akan posisi konsumennya" sehinggga dalam aksi-aksinya mahasiswa mulai mengidentifikasikan kelompoknya sebagai penolakan atas alienasi struktural ini. GM seringkali hadir untuk menjematani gejala alienasi ini untuk secara partsipatif berkenalan dengan realitas sosial.
Mahasiswa dan Pusaran Arus Neoliberalisme
Apa yang tersisa dari GM saat ini? Benarkah ia berada dalam kondisi stagnan? Realitas historis apa yang di hadapi GM saat ini ? Benarkah GM masih terjebak dalam mimpi historis masyarakat yang utopia, yaitu masyarakat imajiner dengan pemenuhan atas hasrat kemanusiaan yang mendalam, mimpi-mimpi paling agung, dan aspirasi-aspirasi kemanusiaan yang paling tinggi. Semua daya fisik, dan sosial bekerja bersama, dalam keselarasan untuk memungkinkan semua hal yang dirasa perlu dan diinginkan oleh rakyat. Untuk menjawab hal tersebut kita mungkin tidak bisa begitu saja membiarkanya menjadi semacam "mimpi kebablasan." Semua yang bergerak tentu memakai prinsip sebab akibat. Inilah prinsip sejarah yang diperkenalkan Marx sebagai fase dialektika historis yang panjang. Kemampuan self of determination hanya bisa terjadi jika ada fakta material historis yang mendukungnya, yaitu masih dominannya penindasan manusia atas manusia dengan konflik kelasnya. Sehingga ini bisa menjawab kekhawatiran adanya pelegitimasian sejarah masa lampau yang buta dan tidak konteks dengan kondisi kontemporer. Kekhawatiran yang diintrodusir oleh Karl Popper ini sebenamya mengada-ada.
Jika demikian dasar pemikirannya, tentulah kita diharuskan menganalisa ulang situasi ekonomi politik yang berkembang saat ini, agar bisa melihat kenapa GM seolah terjebak dalam lingkar kevakuman dan tidak lagi mejadi instrumen politik yang signifikan. Persoalan GM saat ini rnasih dihadapkan pada tiga permasalahan besar, pertama, antara upaya membuka ruang demokrasi nasional dengan harapan munculnya gejolak demokrasi arus bawah yang massif, kedua, persoalan perubahan dinamika ekonomi politik global yang bermetamorfosis menjadi kekuatan Neo-liberal yang kuat, yang sekarang ditambah variabel isu terorisme yang dipicu peristiwa "black september", dan ketiga, dan yang masih krusial, adalah bagaimana mendesign ulang format gerakan yang lebih terkonsolidir dan maju.
Ketiga, permasalahan di atas akan terurai dengan kenyataan objektif yang ada di lapangan. Di tingkatan upaya memangun demokrasi nasional masih dihadapkan pada keterbatasan negara. Ketika Gus-Dur naik ada setitik harapan terjadinya transformasi yang signifikan dalam periode transisi demokrasi. Tuntutan pembersihan negara dari unsur kekuatan lama (Golkar, Milter, dan borjuasi korup) mengalami kebuntuan. Jelas ini sebuah kekalahan gerakan demokratik. Bahkan ketika terjadi konspirasi parlemen untuk menjatuhkan Gus Dur, gerakan Prodem, terutarna GM, seolah tidak berdaya. Upaya keras mewujudkan transisi demokrasi seperti membentur dinding tebal yang di pasang kekuatan lama dan "generasi oportunis" yang merasa tidak nyaman dengan upaya perubahan yang ada.
Nakknya Megawati semakin membawa ketidakjelasan arah gerakan perubahan. Ha ini bisa terlihat dari kenyataan pasca-pemerintahan yang menganut prinsip sentralisme politik menjadi rezim parlementarisme, prinsip demokrasi menjadi ajang jual beli dan menguntungkan kekuatan politik yang memiliki akses kekuasaan yang besar. Tarik ulur kekuasaan mengarah pada bandul otoritarianisme baru. Kedekatan Megawati dengan mantan penjahat HAM seperti letjend. Sutiyoso, dan jendral lainnya, membuat agenda pengadilan HAM terlupakan. Belum lagi permasalahan ekonomi yang semakin runyam dikarenakan pemerintah tidak tegas dalam menyikapi ketergantungan yang diciptakan oleh para agen Neo-liberal, seperti IMF, WB, CGI, dll. Imbas dari kesemuanya adalah indonesia terperangkap dalam jerat hutang berkisar 3000 trilyun yang akan jatuh tempo 2003 ini. Juga, persoalan pengangguran yang mencapai 59, 84 % dari 95, 7 juta angkata kerja, dan penjualan banyak aset negara untuk diswastakan ke perusahaan multinasional yang punya modal besar. Yang paling ironis adalah munculnya lagi gerakan intimidasi/teror ketakutan terhadap gerakan prodem terutama GM dengan kekerasan, penangkapan, dan upaya memobilisasi kekuatan reaksioner untuk mengalau gerakan Prodem. Dalam kondisi yang seperti ini tentu harus ada posisi yang tegas dari GM, konsolidasi demokratik antarelemen GM yang lemah dan menjadi kritik yang terbuka. Sebab isolasi sosial akan tetap menjadi kemungkinan karena GM sangat rentan untuk dimarginalisasi dan dialienasi dari sistem politik dan sosial, hanya dengan sitgma-stigma yang menciptakan ketakutan. Komunisme masih mejadi "momok" historis dan ini yang terus di eksploitasi. Pasea gemerlap "booming" gerakan mahasiswa 1998 yang mejadi sorotan luas perishwa politik nasional, saatini gerakan mahasiswa mesti sudah mengetahui kelemahan strategi dan taktik gerakan yang kurang bisa melakukan injeksi kesadaran massa yang meluas lewat pendidikan politik yang lebih maju dan nir-kekerasan. Karena isolasi so sial yang dialami eM juga tidak terlepas dari kebanyakan masyarakat dunia ke-3. Johan ealtung menyebumya sebagai hasil dari "kekerasan struktural" yang berasal dari penerapan konflik kepentingan negara dan rakyat yang dikondisikan untuk memenuhi prasyarat Living Condition masyarakat pinggiran, yang berusaha menerapkan butir-butir proyek imperialisasi dunia. eM, dalam kondisi ini harus meneari jawaban bersama, karena dalam kegilaan sistem yang ada saat inimasyarakat, termasuk mahasiswa, akan semakin terseret pada upaya pragmatis untuk membenarkan penindasan yang dilakukan masyarakat industri seperti yang dikatakan H. Mareuse sebagai Masyarakat/ manusia satu dimensi (one dimention man).
Lalu seperti apakah posisi GM di tengah zaman bergerak (age of motion), fase milenium, di mana isu internasional yang berkembang adalah terorisme dan pasar bebas/neo liberalisme. Di tengah konteks seperti ini ada yang menilai bahwa polarisasi orientasi gerakan semakin menajam. Ada analisa yang mengemukakan gerakan-gerakan di dunia akan bergerak pada juga kategori. Kategori pertama adalah gerakan fundamentalis, yang tercitrakan lewat gerakan militansi agama yang dogmatis, kedua adalah gerakan Nasionalisme, gerakan ini rnuncul dan massif ketika gerakan fassis nasonalis mulai menjadi anearnan di banyak negara. Di Prancis, Kekuatan fasis Jean Marie Lepen, hampir membuka sentiman itu, di Belanda, bahkan di Indonesia mulai banyak bermunculan fasisme gaya baru berupa pensakralan simbol-simbol primordialisme dan ketakutan pemberontakan yang berlebih-Iebihan. Ketiga, gerakan anti globalisasi dan neo liberalisme. Pada ban yak gerakan demokratik di dunia, termasuk Indonesia, sangat marak tentang penolakan atas situasi ini. Ada banyak tipe gerakan, ada LSM, individu, dan organisasi massa yang solid dan punya garis politik seperti eM. eM dalam ban yak diskursus mesh menempatkan situasi ini untuk melaunching platform Anti imperialisme. Karena kapitalisme, dalam coraknya yang paling progressif adalah lewat irnperialisme. Hal ini tepat seperti yang diramalkan V.l Lenin bahwa "imperialisme adalah puncak kapitalisrne". Imperialisme gaya baru ini tentu menimbulkan fase baru penindasan yang lebih licik dan terorganisir.
Kemudian yang juga cukup krusial adalah permasaIahan internal eM. Banyak krihk otokritik yang bisa menjadi pelajaran berharga. Namun seringkali memang itu tidak bisa berjalan dengan sempuma. Banyak eM yang mulai memperhatikan pula tentang upaya pendemokratisasian kampus. Persoalan domestik ini menjadi krusial karena bisa menjembatani "kesadaran apolitis" mahasiswa dengan realitas objektif berupa ketidakbeeusan negara dalam mengurusi pendidikan sekalipun. DaIam beberapa hal, memang jumlah gerakan daIam bentuk demonstrasi maupun aktivitas militansi mahasiswa saat ini tidak bisa dibandingkan dengan gemuruh 98-an, namun aksi-aksi seeara sporadis yang menyikapi banyak permasalahan domeshk seperti pendidikall, memberikan indikasi bahwa kesadaran politik di dalam gerakan mahasiswa tidak sepenuhnya meluntur dan bahkan isu-isu yang "dramatis" seperti persolan mekanisme demokratisasi kampus dapat memobilisasi mahasiswa.
Feodalisme pendidikan dalam bentuk "in loco parentis" di tingkatan universitas juga kembali memperoleh perhahan dari eM. Seeara tidak langsung situasi pendidikan yang konservatif, yang masih kaku dalam memenuhi rasa keingintahuan mahasiswa akan dunia politik ini mempengaruhi dinamika mahasiswa. Berbagai macam proyek liberalisasi pendidikan yang dalam perkiraan akan menimbulkan kebebasan berekspresi mahasiswa, justru berkebalikan. Pendidikan tetap tidak bisa menampilkan wajahnya yang humanis ini visa terdeteksi dengan melambungnya biaya pendidikan dan pembatasan-pembatasan akademik lainnya yang membatasimahasiswa di dalamnya. Permasalahan komunikasi politik, sebagai bagian dari sosialisasi program dan sikap politik harus tetap menjadi sebuah prioritas utama. Media komunikasi dalam bentuk terbitan, seperti yang di lakukan kawan­kawan PMIl ini, harus tetap di genearkan. Oalam ban yak hal komunikasi politik "bawah tanah" ini mendapat sambutan yang lebih luas karena ia bisa menjadi semaeam media dalam mata rantai komunikasi yang membantu pembentukan pandangan-pandangan ideologis dan mengkomunikasikan pandangan tersebut. Kemudian, jika saya amah, aktivitas GM mahasiswa saat ini kembali kepada masa "keakuan," yang seringkali justru menjadi kendala sulit untuk melakukan kembali konsolidasi dalam menyikapi perubahan yang berlangsung eepat. Jika dulu seringkali ativitas gerakan berfungsi sebagai saluran bagi impuls-impuls mahasiswa yang nakal atau pemberontak, namun saat ini gerakan harus menjadi sesuatu hal yang padu antara intelektualisme dengan praksis gerakan yang radikal. GM sekarang, secara dewasa tentu tidak lagi berdebat tentang permasalahan apakah harus kritik moral ataukah gerakan politik yang lebih luas. Karena jelas, bahwa tentu sebagian besar dari kita sebagai aktivis GM, bisa menjelaskan radikalisme yang muncul sebagai tanggapan atas kesenjangan cita-cita rnasyarakat yang ideal dengan kondisi aktual yang jelas bertentangan dengan cita-cita tersebut. Sehingga jelas gerakan yang kemudian muncul akan beririsan tegas dengan struktur ekonomi politik negara suprastruktur.

Progresifitas Gerakan Mahasiswa
Kesadaran elit yang abstrak berbaur dengan ketakutan relatif hilangnya posisi kelas (deklassierung). Sejalan dengan kesadaran elit yang abstrak, pada massa yang akan datang sulit akan membayangkan bisa berjalan harapan akan "mesianisme" massa GM. Persoalan peran rnahasiswa sebagai intermediary antara state dan society, seringkali menjebak GM hanya pada posisi netral. Konstruksi ini menjadikan GM seringkali sebagi wadah "rornantis-romantisan" bagi orang-orang yang ingin melampiaskan syahwat mudanya. Sementara yang lebih penting adalah bahwa perubahan yang harus terus dilakukan tidak bisa berhenti begitu saja. GM tidak saja harus mengimbangi otoritaranisme negara tetapi ke dalam dan antarelemen saling memberikan pengalarnan dan pendidikan politik. Di tengah deru neo liberalisme yang hampir akan menjadi ideologi dominan, GM makin dituntut untuk bisa membaca dengan jelas berbagai macam kontradiksi di dalam rnasyarakat industrial. Sehingga ada analisa yang jelas dan konkret mengenai pertanyaan "what's to be done" . GM tentu tidak akan berdiri sendiri, ia harus berhubungan dengan sektor perubahan yang lannya seperti buruh, tani, KMK, dll. Namun akan semakin susah jika gerakan-gerakan sektoral yang sedianya akan menjadi sekutu dekat GM semakin terjebak dalam lingkar pragmatisme konflik yang menyeret kesadaran politis kelas pekerja menjadi sekedar gerakan-gerakan normatif yang tak berujung pangkal.
Saya sering membayangkan bahwa ada saja kemungkinan GM terperangkap dalam "politik abu-abu" I grey area yang di pasang negara maupun penguasa modal, dengan jalan memberikan respon-respon gerakan yang bisa tidak menyentuh substansi perubahan, yaitu mewujudkan bentuk demokrasi nasional yang akan meluas menjadi revolusi nasional. Semisal saja tentang kebijakan pemerintah di bidang perburuhan, hanya rnampu meciptakan diskursus dan gerakan normatif. Sementra untuk perubahan kesejahteraan tidak pemah terwujud. Begitu pula tentang berbagai isu tentang HAM, separatisme, terorisme, amandemen, dll, seolah mengajak kita untuk terus-menerus berskap reaksioner dan mudah terprovokasi.
Dalam berbagai kasus di Eropa dan Amerika, ketika mahasiswa terjebak dalam kefrustasian konflik masyarakat industrial yang rnakin pelik, ada kemungkinan akan terjebak dalam bemtuk fundamentalisme gerakan. Bahkan mungkin akan menyerempet menjadi gerakan-gerakan teror. Di ltalia mungkin rnasih kita ingat bagaimana GM yang cukup radikal di sana yaitu brigate ross brigade merah) atau autonomia operaia menjadi gerakan teror yang menakutkan, di Jerman faksi baader- meinhoff I sempalan SDS menjadi faksi frustasi yang akhimya menjadi gerakan teror, atau di Jepang GM berubah menjadi pasukan seikegunltentara merah yang banyak menebar teror dalam tiap aksinya. Di sini, mungkin akan berbeda situasinya. Indonesia yang merupakan negara marjinal dan terbelakang, GM akan bersimbiosis erat dengan kekuatan sektoral. Karena masih jelas bentuk kontradiksi yang dihadapi kelas pekerja, bentuk krisis sosial dan ekonorni politik sernakin menghebat, dalam beberapa waktu mendatang akan memberikan sebuah realitas historis agar rakyat turut bergerak. Kefrustasian GM akan justru akan terjawab dengan kontradiksi yang lebih terbuka ini. Apalagi ada indikasi melemahnya pusat kekuasan kapitalisme di Amerika mungkin dalam jangka yang akan panjang menyebabkan pula perubahan pola kepemimpinan ekonomi politik dunia. Dalam resesi yang akan berlanjut, posisi gerakan demokratik terutarna GM akan mengalarni fase yang bisa jadi seperti era 98-an, di mana akan memicu keresahan dalam skala yang cukup luas dan ini akan menjadi semacam "reedukasi" perlawanan yang dengan bekal pengalaman sebelumnya akan menjadi gerakan politik yang lebih matang. Mari kita bekerja, berkarya dan bercinta dengan satu hal: Kemerdekaan.
GENEOLOGI GERAKAN MAHASISWA INDONESIA
Akar Sejarah di Indonesia
Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. Sejarah Gerakan mahasiswa yang tertua yang tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia adalah Perhimpoenan Indonesia di Belanda, yang didirikan pada 1922 oleh Mohammad Hatta, yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam. Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Akbar Tanjung, Cosmas Batubara Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. Masa Orde Baru Dalam perkembangannya di kemudian hari, Orde Baru juga banyak mendapatkan koreksi dari germa seperti dalam gerakan-gerakan berikut:
  1. Gerakan anti korupsi yang diikuti oleh pembentukan Komite Anti Korupsi, yang   diketuai oleh Wilopo (1970).
  2. Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972   karena Golkar dinilai curang.
  3. Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
  4. Gerakan mahasiswa Indonesia 1974. Gerakan memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia pada 1974. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi peristiwa Malari pada 15 Januari 1974, yang mengakibatkan dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.

Tugas ISD 1: Tawuran Pelajar di Indonesi

Pengertian Tawuran

Dalam kamus bahasa Indonesia “tawuran”dapat diartikan sebagai perkelahian yang meliputi banyak orang. Sedangkan “pelajar” adalah seorang manusia yang belajar. Sehingga pengertian tawuran pelajar adalah perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut dilakukan oleh orang yang sedang belajar
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
1.      Delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.
2.      Delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, tumbuh kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa remaja seorang remaja akan cenderung membuat sebuah genk yang mana dari pembentukan genk inilah para  remaja bebas melakukan apa saja tanpa adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi karena ia berada dilingkup kelompok teman sebayanya.

A.    Faktor- faktor Yang Menyebabkan Tawuran Pelajar
Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan tawuran pelajar, diantaranya :
1.      Faktor Internal
Faktor internal ini terjadi didalam diri individu itu sendiri yang berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru dalam menyelesaikan permasalahan disekitarnya dan semua pengaruh yang datang dari luar.
2.      Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar individu, yaitu :
a.       Faktor Keluarga
Keluarga adalah tempat dimana pendidikan pertama dari orangtua diterapkan. Jika seorang anak terbiasa melihat kekerasan yang dilakukan didalam keluarganya maka setelah ia tumbuh menjadi remaja maka ia akan terbiasa melakukan kekerasan karena inilah kebiasaan yang datang dari keluarganya. 
b.      Faktor Sekolah
Sekolah tidak hanya untuk menjadikan  para siswa pandai secara akademik namun juga pandai secara akhlaknya . Sekolah merupakan wadah untuk para siswa mengembangkan diri menjadi lebih baik. Namun sekolah juga bisa menjadi wadah untuk siswa menjadi tidak baik, hal ini dikarenakan hilangnya kualitas pengajaran yang bermutu. 
c.       Faktor Lingkungan
Lingkungan rumah dan lingkungan sekolah dapat mempengaruhi perilaku remaja. Seorang remaja yang tinggal dilingkungan rumah yang tidak baik akan menjadikan remaja tersebut ikut menjadi tidak baik. Kekerasan yang sering remaja lihat akan membentuk pola kekerasan dipikiran para remaja.

B.     Hal Yang Menjadi Pemicu Tawuran
Tak jarang disebabkan oleh saling mengejek atau bahkan hanya saling menatap antar sesama pelajar yang berbeda sekolahan. Bahkan saling rebutan wanita pun bisa menjadi pemicu tawuran. Dan masih banyak lagi sebab-sebab lainnya.

C.    Dampak Karena Tawuran Pelajar
1.      Kerugian fisik, pelajar yang ikut tawuran kemungkinan akan menjadi korban. Baik itu cedera ringan, cedera berat, bahkan sampai kematian.
2.      Masyarakat sekitar juga dirugikan. Contohnya : rusaknya rumah warga apabila pelajar yang tawuran itu melempari batu dan mengenai rumah warga.
3.      Terganggunya proses belajar mengajar.
4.      Menurunnya moralitas para pelajar.
5.      Hilangnya perasaan peka, toleransi, tenggang rasa, dan saling menghargai

D.    Hal-hal Yang Dapat Dilakukan Untuk Mengatasi Tawuran Pelajar
1.      Memberikan pendidikan moral untuk para pelajar.
2.      Menghadirkan seorang figur yang baik untuk dicontoh oleh para pelajar. Seperti hadirnya seorang guru, orangtua, dan teman sebaya yang dapat mengarahkan para pelajar untuk selalu bersikap baik.
3.      Memberikan perhatian yang lebih untuk para remaja yang sejatinya sedang mencari jati diri.
4.      Memfasilitasi para pelajar untuk baik dilingkungan rumah atau dilingkungan sekolah untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat  diwaktu luangnya. Contohnya  : membentuk ikatan remaja masjid atau karangtaruna dan membuat acara-acara yang bermanfaat, mewajibkan setiap siswa mengikuti organisasi atau ekstrakulikuler disekolahnya

Sumber: