BUDAYA BANTEN
Banten
adalah sebuah provinsi di Pulau Jawa,
Indonesia.
Provinsi ini dulunya merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat,
namun dipisahkan sejak tahun 2000, dengan keputusan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2000. Pusat pemerintahannya berada di Kota Serang.
Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota
pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur.
Banten pada abad ke 5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Salah
satu prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti
Cidanghiyangatau prasasti Lebak, yang ditemukan di kampung lebak di tepi Ci
Danghiyang, Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten. Prasasti ini baru
ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf
Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan
keberanian rajaPurnawarman. Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara (menurut
beberapa sejarawan ini akibat serangan kerajaan Sriwijaya), kekuasaan di
bagian baratPulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali
Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Seperti dinyatakan oleh Tome
Pires, penjelajah Portugispada tahun 1513, Banten menjadi salah satu
pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut,
Banten adalah salah satu pelabuhan kerajaan itu selain pelabuhan Pontang,
Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Cimanuk.
Diawali dengan penguasaan Kota Pelabuhan Banten, yang
dilanjutkan dengan merebut Banten Girang dari Pucuk Umun pada
tahun 1527, Maulana Hasanuddin, mendirikan Kesultanan Banten di
wilayah bekas Banten Girang. Dan pada tahun 1579, Maulana Yusuf, penerus
Maulana Hasanuddin, menghancurkan Pakuan Pajajaran, ibukota atau pakuan
(berasal dar kata pakuwuan) Kerajaan Sunda. Dengan demikian pemerintahan di
Jawa Barat dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Hal itu ditandai dengan
diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja
dinobatkan, dari Pakuan Pajajaran ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana
Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena
tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan
dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja
baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus
kekuasaan Kerajaan Sunda yang "sah" karena buyut perempuannya adalah
puteri Sri Baduga Maharaja.
Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana
dilaporkan oleh J. de Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di Asia
Tenggara, sejajar dengan Malaka dan Makassar. Kota Banten
terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga mil.
Kota itu panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa;
masuk ke dalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai
yang jernih, di mana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang
pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu
hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran
kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya
tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu,
terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di tengah
kota terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan
dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di
bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat bangunan datar yang
ditinggikan dan beratap, disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat
raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun didirikan
sebuah mesjid agung.
Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu
pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata
administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat menunjang bagi
tumbuhnya perekonmian masyarakat. Daerah kekuasaannya mencakup juga wilayah
yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Ketika orang Belanda tiba
di Banten untuk pertama kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke Banten.
Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Banten dan disusul oleh orang
Belanda.
Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark pun pernah
datang di Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda muncul
sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari Banten (1601), setelah
armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan Banten. Orang Inggris
pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684) akibat tindakan orang
Belanda.
Pada 1 Januari 1926 pemerintah Hindia
Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi dan
dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan otonom
provinsi. Provincie West Java adalah provinsi
pertama yang dibentuk di wilayah Hindia Belanda yang diresmikan dengan surat
keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran
Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507.
Banten menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java disamping
Batavia, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.
Macam-Macam
Kebudayaannya
1. Kebudayaan Rudat Banten
Rudat adalah kesenian
tradisional khas Banten yang merupakan perpaduan unsur tari, syair shalawat,
dan olah kanuragan yang berpadu dengan tabuhan terbang dan tepuk tangan. Rudat
terdiri dari sejumlah musik perkusi yang dimainkan oleh setidaknya delapan
orang penerbang (pemain musik ) yang mengiringi tujuh hingga dua belas
penari.Menurut beberapa tokoh Rudat, nama Rudat diambil dari nama alat yang
dimainkan dalam kesenian ini. Alat musik tersebut berbentuk bundar yang
dimainkan dengan cara dipukul. Seni Rudat mulai ada dan berkembang pada masa
pemerintahan Sinuhun Kesultanan Banten II, Pangeran Surosowan Panembahan
Pakalangan Gede Maulana Yusuf (1570-1580 M).
Tidak banyak yang mengetahui
siapa yang menciptakan kesenian ini, karena sekarang sesepuh yang mengetahui
seluk-beluk Rudat sangat sedikit bahkan sebagian sudah meninggal. Naskah yag
berisi sejarah Rudat dan nilai-nilai filosofis tentang rudat pun hanya dimiliki
oleh satu sampai dua orang yang salah satunya merupakan anak dari mendiang
pemilik naskah yang menjadi sesepuh disana.
Meskipun tidak banyak yang
mengetahui pencipta kesenian ini, warga Sukalila meyakini bahwa Rudat
sebetulnya jurus silat yang dikembangkan menjadi tarian. Langkah-langkahnya
merupakan langkah-langkah silat yang dikembangkan menjadi tarian dan diiringi
musik dan shalawat.Seni tradisional Banten ini menjadi rangkaiaan utama tatkala
Kesultanan Banten mengadakan hajat besar atau dalam acara penyambutan tamu
kehormatan yang berasal dari mancanegara.
Pasang surut Seni Rudat
sangat erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Banten. Saat kedatangan
Belanda, Seni Rudat malah terkubur. Pada zaman Sinuhun Kasultanan Banten IV
Pangeran Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin Abdul Kadir (1596-1651
M) seni tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang Belanda karena
dicurigai sebagai ajang untuk mengumpulkan masa untuk berlatih bela diri dan
menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda.
2.
Kebudayaan
Tari Dzikir Saman Banten
Dzikir
Saman yang ada di Banten berbeda dengan Saman yang ada di Aceh, disini para
pemainnya terdari dari laki-laki dengan membentuk lingkaran. Sambil berputar,
sambil menyebutkan shalawat Nabi Muhammad SAW. Seni Dzikir Saman ini tidak
diiringi dengan perangkat alat musik, hanya nyanyian dengan menyebut asma
Allah, alok dan gerakan tubuh yang berputar-putar. Seni ini sudah ada sejak
dahulu, biasanya dalam acara tertentu seperti Khol Syeh Abdul Khodir Jailani,
Rasullan, dan acara keagamaan lainya.
3.
Kebudayaan Ubrug Banten
Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu saubrug-ubrug
yang artinya bercampur baur. Dalam pelaksanannya, kesenian ubrug ini
kegiatannya memang bercampur yaitu antara pemain/pelaku dengan nayaga yang
berada dalam satu tempat atau arena. Namun ada pendapat bahwa ubrug diambil
dari kata sagebrug yang artinya apa yang ada atau seadanya dicampurkan,
maksudnya yaitu antara nayaga dan pemain lainnya bercampur dalam satu lokasi
atau tempat pertunjukan.
Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu kendang besar,
kendang kecil, goong kecil, goong angkeb (dulu disebut katung angkub atau
betutut), bonang, rebab, kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa oleh satu orang
yang disebut tukang kanco karena alat pemikulnya bernama kanco yaitu tempat
menggantungkan alat-alat tersebut.
Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain
tari lengkap dengan kipas untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau
bodor pakaiannya disesuaikan dengan fungsinya sebagai pelawak yang harus
membuat geli penonton. Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus memakai
pakaian yang rapi dan sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran yang
dibawakannya.
Urutan pertunjukan ubrug yakni sebagai berikut : (1) Tatalu
— gamelan ditabuh sedemikian rupa sehingga kedengaran semarak selama 10-15
menit yang dimulai pada pukul 21.00 WIB. (2) Lalaguan – Ini kemudian disambung
tatalu singkat sekitar 2 menit dilanjutkan dengan Nandung. (3) Lawakan — lakon
atau cerita yang akan disuguhkan. (4) Soder — yaitu beberapa ronggeng keluar
dengan menampilkan goyang pinggulnya. Para pemain memakaikan kain, baju, topi
atau yang lainnya ke tubuh ronggeng. Sambil dipakai, para ronggeng terus menari
beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan kepada pemiliknya
dan si pemilik menerima dengan bayaran seadanya. Soder berlangsung + 20-30
menit.
Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu
minyak tanah yang bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di tengah
arena. Lampu blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu
gembrong atau lampu petromak.
Ubrug dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan tenda
seadanya cukup dengan daun kelapa atau rumbia. Pada saat menyaksikan ubrug,
penonton mengelilingi arena.
Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau
ruangan, baik yang tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat
menyaksikannya dari segala arah.
4.
Kebudayaan Tari Cokek Banten
Cokek
adalah sebuah tarian tradisional dari daerah Tangerang yang dimainkan kali
pertama sekitar abad ke-19. Ketika itu, tarian ini diperkenalkan oleh Tan Sio
Kek, seorang tuan tanah
Tionghoa
di Tangerang yang sedang merayakan pesta. Dalam perayaan pesta itu, Tan Sio Kek
mengundang beberapa orang ternama yang tinggal di Tangerang. Tan Sio Kek
mengundang juga tiga orang musisi yang berasal dari daratan Cina. Ketika itu,
para musisi Cina hadir sambil membawa beberapa buah alat musik dari negara
asalnya.
Salah satu
alat musik yang mereka bawa yakni Rebab Dua Dawai. Atas permintaan Tan Sio Kek,
musisi itu kemudian memainkan alat musik yang mereka bawa dari daratan Cina.
Pada saat yang bersamaan, grup musik milik Tan Sio Kek juga memainkan beberapa
alat musik tradisional dari daerah Tangerang, seperti seruling, gong serta
kendang.
Lantunan
nada dari perpaduan alat musik daratan Cina dan Tangerang itu kemudian dikenal
dengan nama musik Gambang Kromong. Untuk meramaikan suasana pesta, Tan Sio Kek
menghadirkan tiga orang wanita. Sesuai permintaan Tan Sio Kek, mereka menari
mengikuti alunan musik yang dimainkan para musisi. Para tamu yang menghadiri
pesta menyebut ketiga penari itu Cokek. Konon, Cokek merupakan sebutan bagi
anak buah Tan Sio Kek. Sejak saat itulah, masyarakat Tangerang di provinsi
Banten mulai mengenal nama tari Cokek.
Jika
awalnya, tari Cokek hanya dimainkan oleh tiga orang penari wanita. Kini,
pertunjukan Cokek seringkali dimainkan oleh 5 hingga 7 orang penari wanita dan
beberapa orang lelaki sebagai pemain musik. Setiap kali pertunjukan, penampilan
penari Cokek disesuaikan dengan ciri khas wanita Banten yakni mengenakan kebaya
dan kain panjang sebagai bawahan. Biasanya, warna kebaya yang dikenakan para
penari Cokek relatif berkilau ketika terkena sinar lampu, seperti hijau, merah,
kuning, serta ungu. Yang tak pernah ketinggalan dari penari Cokek yakni sehelai
selendang.
Di daerah
Tangerang, tari Cokek biasanya dimainkan sebagai pertunjukan hiburan saat warga
Cina Benteng menyelenggarakan pesta pernikahan. Warga Cina Benteng merupakan
warga Tionghoa keturunan yang tinggal di daerah Tangerang. Seringkali, tarian
ini juga dimainkan sebagai tari penyambutan bagi tamu kehormatan yang
berkunjung ke Tangerang.
Lantunan
musik Gambang Kromong dan gerakan penari yang terlihat gemah gemulai menjadi
ciri khas dari pertunjukan tari Cokek. Di tengah pertunjukan, penari Cokek
biasanya turun ke barisan penonton untuk memilih siapa yang akan diajak untuk
menari bersama. Setiap kali tari Cokek dimainkan, tidak semua penari dapat
menari bersama penari Cokek.
Jika
pertunjukan Cokek diselenggarakan untuk acara pernikahan, penari Cokek biasanya
mengajak pengantin lelaki atau beberapa orang tamu undangan untuk menari
bersama. Ketika diselenggarakan untuk menyambut tamu kehormatan, pejabat
setempat dan tamu kehormatan itulah yang mendapat kesempatan pertama menari
bersama penari Cokek.
Tanda ajakan dari penari yakni sehelai selendang yang
dikalungkan ke leher para tamu. Masyarakat Tangerang beranggapan, jika sehelai
selendang dari penari Cokek telah dikalungkan, pantang bagi tamu itu ataupun
siapa saja untuk menolak. Penolakan itu diyakini dapat mencemarkan nama baik
mereka sendiri. Biasanya, para tamu itulah yang nantinya menari bersama para
penari Cokek hingga pertunjukan tari Cokek.
5.
Kebudayaan Dog-dog Lojor Banten
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat
Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di
sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski
kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di
dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara
ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara
Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai
tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai
petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini
masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh
adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan
prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak).
Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan
pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa
dinikmatinya.
Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal
fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami
perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan
acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor
adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini
mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking,
dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah
enam orang.
6.
Kebudayaan Suku Baduy
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah
suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar
kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda
yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan
masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena
adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah
tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau
"orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang
mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo
Wilayah kanekes bermukim tepat di kaki
pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Tidak heran bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sunda dialek Sunda-Banten.
Namun mereka juga lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika berdialog dengan
penduduk luar.
Suku Baduy sendiri terbagi menjadi tiga
kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu
adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam. Yaitu kelompok Baduy yang
paling ketat mengikuti adat mereka. Terdapat tiga kampung pada kelompok Baduy
dalam yaitu: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam
adalah mereka mengenakan pakaian yang berwarna putih alami dan biru tua serta
mengenakan ikat kepala putih. Kelompok yang kedua adalah Baduy Luar atau
dikenal sebagai kelompok masyarakat panamping. Yang berciri mengenakan pakaian
dan ikat kepala berwarna hitam. Dan tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam
seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.
Lain halnya kelompok ketiga disebut dengan Baduy Dangka, mereka tinggal di luar
wilayah Kanekes tidak seperti Baduy Dalam dan Luar. dan saat ini hanya 2
kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat
kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada
pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh
agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan
itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya
“pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau
tanpa perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat
Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling
sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan
setahun sekali pada bulan kalima. Hanya ketua adat tertinggi puun dan
rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di
daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat
pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan
panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh
pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah
bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu
Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin
melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan
hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut
terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar.
Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya
berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya
mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual
madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan
mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan
melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak
diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah
Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Rumah
Adat Banten
Rumah adatnya adalah rumah panggung yang beratapkan daun
atap dan lantainya dibuat dari pelupuh yaitu bambu yang dibelah-belah.
Sedangkan dindingnya terbuat dari bilik (gedek). Untuk penyangga rumah panggung
adalah batu yang sudah dibuat sedemikian rupa berbentuk balok yang ujungnya
makin mengecil seperti batu yang digunakan untuk alas menumbuk beras. Rumah
adat ini masih banyak ditemukan di daerah yang dihuni oleh orangKanekes atau
disebut juga orang Baduy.
Masrukhi/1ID07/35413341/TUGAS
ILMU BUDAYA DASAR