Budaya
Jawa Timur
Jawa Timur
adalah sebuah provinsi di bagian
timur Pulau Jawa, Indonesia. Ibukota
terletak di Surabaya.
Luas wilayahnya 47.922 km², dan jumlah penduduknya 37.476.757 jiwa (2010). Jawa Timur memiliki wilayah terluas
di antara 6 provinsi di Pulau Jawa, dan memiliki jumlah penduduk terbanyak
kedua di Indonesia setelah Jawa
Barat. Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di utara,
Selat Bali di
timur, Samudra
Hindia di selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di
barat. Wilayah Jawa Timur juga meliputi Pulau Madura, Pulau Bawean, Pulau Kangean serta
sejumlah pulau-pulau kecil di Laut
Jawa dan Samudera
Hindia(Pulau
Sempu dan Nusa
Barung).
Jawa Timur
dikenal sebagai pusat Kawasan Timur Indonesia, dan memiliki signifikansi
perekonomian yang cukup tinggi, yakni berkontribusi 14,85% terhadap Produk Domestik Bruto nasional.
Suku Bangsa
Mayoritas
penduduk Jawa Timur adalah Suku Jawa, namun demikian, etnisitas di Jawa Timur lebih
heterogen. Suku Jawa menyebar hampir di seluruh wilayah Jawa Timur daratan. Suku Madura
mendiami di Pulau Madura dan daerah Tapal Kuda
(Jawa Timur bagian timur), terutama di daerah pesisir utara dan selatan. Di
sejumlah kawasan Tapal Kuda, Suku Madura bahkan merupakan mayoritas. Hampir di
seluruh kota di Jawa Timur terdapat minoritas Suku Madura, umumnya mereka
bekerja di sektor informal.
Suku
Tengger, konon adalah keturunan pelarian Kerajaan Majapahit, tersebar di
Pegunungan Tengger dan sekitarnya. Suku Osing
tinggal di sebagian wilayah Kabupaten Banyuwangi. Orang Samin tinggal di
sebagian pedalaman Kabupaten Bojonegoro.
Selain penduduk
asli, Jawa Timur juga merupakan tempat tinggal bagi para pendatang. Orang Tionghoa adalah minoritas yang cukup signifikan
dan mayoritas di beberapa tempat, diikuti dengan Arab;
mereka umumnya tinggal di daerah perkotaan. Suku Bali
juga tinggal di sejumlah desa di Kabupaten Banyuwangi. Dewasa ini banyak
ekspatriat tinggal di Jawa Timur, terutama di Surabaya dan sejumlah kawasan
industri lainnya.
Kesenian
Jawa Timur memiliki sejumlah kesenian khas. Ludruk merupakan salah satu kesenian Jawa Timuran yang
cukup terkenal, yakni seni panggung yang umumnya seluruh pemainnya adalah
laki-laki. Berbeda dengan ketoprak yang menceritakan kehidupan istana, ludruk
menceritakan kehidupan sehari-hari rakyat jelata, yang seringkali dibumbui
dengan humor dan kritik sosial, dan umumnya dibuka dengan Tari Remo dan parikan. Saat ini kelompok ludruk tradisional
dapat dijumpai di daerah Surabaya, Mojokerto, dan Jombang; meski keberadaannya
semakin dikalahkan dengan modernisasi.
Reog yang sempat diklaim sebagai tarian dari Malaysia merupakan kesenian khas Ponorogo yang telah dipatenkan sejak tahun 2001,
reog
kini juga menjadi icon kesenian Jawa Timur. Pementasan reog
disertai dengan jaran kepang (kuda lumping) yang disertai unsur-unsur gaib.
Seni terkenal Jawa Timur lainnya antara lain wayang kulit purwa gaya Jawa
Timuran, topeng dalang di Madura, dan besutan.
Di daerah Mataraman, kesenian Jawa Tengahan seperti ketoprak dan wayang kulit cukup populer. Legenda terkenal dari
Jawa Timur antara lain Damarwulan, Angling Darma, dan Sarip Tambak-Oso.
Seni tari tradisional di Jawa Timur secara umum dapat dikelompokkan
dalam gaya Jawa Tengahan, gaya Jawa Timuran, tarian Jawa gaya Osing, dan trian
gaya Madura. Seni tari klasik antara lain tari gambyong, tari srimpi, tari
bondan, dan kelana.
Terdapat pula kebudayaan semacam barong sai di Jawa Timur.
Kesenian itu ada di dua kabupaten yaitu, Bondowoso dan Jember. Singo Wulung
adalah kebudayaan khas Bondowoso. Sedangkan Jember memiliki macan kadhuk. Kedua
kesenian itu sudah jarang ditemui.
Budaya dan Adat Istiadat
Kebudayaan dan adat istiadat Suku
Jawa di Jawa Timur bagian barat menerima banyak pengaruh dari Jawa Tengahan,
sehingga kawasan ini dikenal sebagai Mataraman; menunjukkan bahwa
kawasan tersebut dulunya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Mataram.
Daerah tersebut meliputi eks-Karesidenan Madiun (Madiun, Ngawi, Magetan,
Ponorogo, Pacitan), eks-Karesidenan Kediri (Kediri, Tulungagung, Blitar,
Trenggalek) dan sebagian Bojonegoro. Seperti halnya di Jawa Tengah, wayang
kulit dan ketoprak cukup populer di kawasan ini.
Kawasan pesisir barat Jawa Timur
banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Kawasan ini mencakup wilayah Tuban,
Lamongan, dan Gresik. Dahulu pesisir utara Jawa Timur merupakan daerah masuknya
dan pusat perkembangan agama Islam. Lima dari sembilan anggota walisongo dimakamkan di kawasan ini.
Di kawasan eks-Karesidenan Surabaya
(termasuk Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang) dan Malang, memiliki sedikit
pengaruh budaya Mataraman, mengingat kawasan ini cukup jauh dari pusat
kebudayaan Jawa: Surakarta dan Yogyakarta.
Adat istiadat di kawasan Tapal Kuda
banyak dipengaruhi oleh budaya Madura, mengingat besarnya populasi Suku Madura
di kawasan ini. Adat istiadat masyarakat Osing merupakan perpaduan budaya Jawa,
Madura, dan Bali. Sementara adat istiadat Suku Tengger banyak dipengaruhi oleh
budaya Hindu.
Masyarakat desa di Jawa Timur,
seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan
dan teritorial. Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara lain: tingkepan
(upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara
menjelang lahirnya bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima
hari), pitonan (upacara setelah bayi berusia tujuh bulan), sunatan,
pacangan
.
Penduduk Jawa Timur umumnya menganut
perkawinan monogami. Sebelum dilakukan lamaran, pihak laki-laki melakukan acara
nako'ake (menanyakan apakah si gadis sudah memiliki calon suami),
setelah itu dilakukan peningsetan (lamaran). Upacara perkawinan
didahului dengan acara temu atau kepanggih. Masyarakat di pesisir
barat: Tuban, Lamongan, Gresik, bahkan Bojonegoro memiliki kebiasaan lumrah
keluarga wanita melamar pria, berbeda dengan lazimnya kebiasaan daerah lain di
Indonesia, dimana pihak pria melamar wanita. Dan umumnya pria selanjutnya akan
masuk ke dalam keluarga wanita.
Untuk mendoakan orang yang telah
meninggal, biasanya pihak keluarga melakukan kirim donga pada hari ke-1,
ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, 1 tahun, dan 3 tahun setelah kematian.
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Timur
Rumah Adat Jawa Timur
Rumah adat Jawa Timur Joglo dasar filosofi dan
arsitekturnya sama dengan rumah adat di Jawa Tengah Joglo. Rumah adat
Joglo di Jawa Timur masih dapat kita temui banyak di daerah Ponorogo. Pengaruh
Agama Islam yang berbaur dengan kepercayaan animisme, agama Hindu dan Budha
masih mengakar kuat dan itu sangat berpengaruh dalam arsitekturnya yang kentara
dengan filsafat sikretismenya.
Rumah Joglo umumnya terbuat dari kayu Jati.
Sebutan Joglo mengacu pada bentuk atapnya, mengambil stilasi bentuk sebuah
gunung. Stilasi bentuk gunung bertujuan untuk pengambilan filosofi yang
terkandung di dalamnya dan diberi nama atap Tajug, tapi untuk rumah
hunian atau sebagai tempat tinggal, atapnya terdiri dari 2 tajug yang disebut
atap Joglo/Juglo / Tajug Loro. Dalam kehidupan orang Jawa gunung
merupakan sesuatu yang tinggi dan disakralkan dan banyak dituangkan kedalam
berbagai simbol, khususnya untuk simbol-simbol yang berkenaan dengan sesuatu
yang magis atau mistis. Hal ini karena adanya pengaruh kuat keyakinan bahwa
gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat
tinggal para Dewa.
Pengaruh kepercayaan animisme, Hindu dan Budha masih sangat
kental mempengaruhi bentuk dan tata ruang rumah Joglo tersebut contohnya:
Dalam rumah adat Joglo, umumnya sebelum memasuki ruang induk
kita akan melewati sebuah pintu yang memiliki hiasan sulur gelung atau
makara. Hiasan ini ditujukan untuk tolak balak, menolak maksud – maksud
jahat dari luar hal ini masih dipengaruhi oleh kepercayaan animisme.
Kamar tengah merupakan kamar sakral. Dalam kamar ini
pemiliki rumah biasanya menyediakan tempat tisur atau katil yang dilengkapi
dengan bantal guling, cermin dan sisir dari tanduk. Umumnya juga dilengkapi
dengan lampu yang menyala siang dan malam yang berfungsi sebagai pelita, serta
ukiran yang memiliki makna sebagai pendidikan rohani, hal ini masih dalam
pengaruh ajaran Hindu dan Budha.
Untuk rumah Joglo yang terletak di pesisir pantai utara
seperti Tuban, Gresik dan Lamongan unsur-unsur di atas di tiadakan karena
pengaruh Islam masuk. Melalui akultrasi budaya jawa yang harmoni, penyebaran
Islam berbaur harmonis dengan budaya dan adat istiadat kepercayaan animisme,
Hindu dan Budha. Islam pun mulai menjalar ke berbagai daerah di Jawa Timur,
seperti di Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Kediri, Tulungagung,
Blitar, Trenggalek, dan sebagian Bojonegoro, sedangkan kota-kota di bagian
barat Jawa timur memiliki kemiripan rumah adat Jawa Tengah, terutama Surakarta dan
Yogyakarta yang disebut sebagai kota pusat peradaban Jawa.
Rumah Joglo juga menyiratkan kepercayaan kejawen masyarakat
Jawa yang berdasarkan sinkretisme. Keharmonisan hubungan antara manusia dan
sesamanya (“kawulo” dan “gusti”), serta hubungan antara manusia dengan
lingkungan alam di sekitarnya (“microcosmos” dan “macrocosmos”), tecermin pada
tata bangunan yang menyusun rumah joglo. Baik itu pada pondasi, jumlah saka
guru (tiang utama), bebatur (tanah yang diratakan dan lebih tinggi dari tanah
disekelilingnya), dan beragam ornamen penyusun rumah joglo.
Rumah
Joglo mempunyai banyak jenis seperti
- Joglo Lawakan
- Joglo Sinom
- Joglo Jompongan
- Joglo Pangrawit
- Joglo Mangkurat
Arsitektur rumah Joglo menyiratkan pesan-pesan kehidupan
manusia terhadap kebutuhan “papan”. Bahwa rumah bukankah sekadar tempat
berteduh, tapi ia juga merupakan “perluasan” dari diri manusia itu sendiri.
Berbaur harmoni dengan alam di sekitarnya. Rumah Joglo pada umumnya sama pada
bentuk global dan tata ruangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar